tag:blogger.com,1999:blog-58990655028729488612024-02-20T15:28:13.225-08:00The Inspiring StorySemangat untuk selalu memberikan yang terbaik!tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-75955771556843970422015-09-14T05:37:00.002-07:002015-09-14T07:39:00.144-07:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<b>Malaikat Kecil yang Terluka</b><br />
<br />
<br />
Pagi itu cerah namun tidak begitu dengan wajah mungilnya. Mata bening khas anak2, yang seharusnya menyimpan semangat, gairah dan ceria, justru menceritakan kegelisahan sangat dalam. Kehangatan pagipun tak kunjung menenangkan perasaan bagi seorang anak yg baru saja melepas statusnya sebagai murid TK itu. Kini dengan banyak penyesuaian yang tidak kunjung ia mengerti, malaikat kecil itu terus berjuang mendamaikan hari2 pertama di sekolahnya yg baru- SD<br />
<br />
Mendengar sedu sedannya yg akhirnya menghadirkan jerit tangis, membuat hati saya bertambah miris. Seorang Ibu Guru kelihatan membujuknya dengan sangat serius, namun kalah serius dari kecamuk perasan yg membuncah di dalam dada kecilnya. Mata itu makin menyimpan banyak tanda tanya, melihat Ibunya yang terus berteriak dan tampak hanya berusaha memotivasi dari gerbang sekolah yg jaraknya bertambah jauh dari langkah kakinya yang mengayun terbata, terus dipaksakan menuju kelas di lantai 2.<br />
<br />
Hati kecil saya mendadak protes. Saat itu ingin sekali rasanya saya memeluk tubuh mungilnya, menenangkannya, mendiskusikan perasaannya, menghiburnya dan memberikan pengertian atas berbagai kegelisahan dan pertanyaannya yg tak kunjung terjawab. Tuhan, sungguh saya menyaksikan malaikat kecil itu sangat terluka.<br />
<br />
Saya pun reflek mendekati ibunya. Ibu itu bercerita prihatin. Bahwà kemarin sempat mata sang anak memar. Mengapa memar? Karena kaos kaki? Lo? Iya, kaos kaki yg ternyata dpakai oleh anak itu untuk menyeka air mata kesedihannya.Huk!*nangiiis*<br />
<br />
Selapis bening di mata saya jatuh. Ingat saat 8 tahun lalu kejadian persis ini pun saya alami, mendampingi sulung saya melewati perjuangan kami yg tak terlukiskan beratnya. Sebuah kegelisahan yg sulit dikatakan, ketakutan yg tak beralasan dan kesedihan yang tak mudah diceritakan dari anak2 saat menghadapi sekolah baru, teman baru, guru baru dan berbagai situasi baru. Tapi hebatnya ini hanya dialami oleh beberapa anak yg memang punya hati teramat lembut dan sangat sensitif.<br />
<br />
Tapi apakah memang begini cara terbaik kita saat mengatasi anak yg tengah bergulat dengan rasa asingnya? Merasa cukup dengan sekadar mengatakan:<br />
<br />
"kamu sudah besar, jadi harus begini begitu."<br />
"semua akan baik - baik saja."<br />
<br />
dan beribu kalimat bujukan lainnya, tanpa sedikitpun merasa perlu menularkan kedamaian melalui dekapan dan pelukan, pandangan mata yg fokus memberi perhatian, suara yg lembut menyejukkan atau memberi sedikit jeda waktu untuk dia bisa memaknai kegelisahnnya dan mengerti dengan apa yg dia rasakan dan pertanyakan?<br />
<br />
Ah entahlah. Bagi saya fenomena ini akhirnya bagai sebuah kesempatan untuk orang tua terus belajar dan mengajarkan. Belajar untuk lebih peduli dengan perasaan anak, daripada sibuk memaksakan diri sesuai dengan apa yang orang tua mau.<br />
<br />
Bila anak merasa bahwa orang tua memang mementingkan perasaannya, maka anak juga belajar untuk mementingkan perasaan orang lain. Bila anak merasa orang tua peduli dengan apa yang tengah dirasakannya, maka anak pun akan belajar untuk peduli dengan perasaan orang lain. Bukankah ini yang dinamakan berlatih empati sejak kecil? Dengan didengarkan perasaannya maka anak akan merasa penting. Ini menjadi sebuah jalan untuk menemukan ketenangan dan semangat belajarnya kembali.<br />
<br />
Pada saat itulah terjadi proses pembelajaran yg sesungguhnya dalam rangka mengasah rasa periksa dan menajamkan logika. Saat itu, dimana anak benar2dipentingkan dan diberikan kesempatan untuk didengarkan atas apa yang sesungguhnya dia rasakan!<br />
<br />
Ya begitulah,<br />
Kehidupan malaikat kecil di sekeliling kita!<br />
Hari2 nya meliputi antara<br />
Rumah dan sekolah<br />
Sekolah dan rumah<br />
Sehingga dengan demikian,<br />
orang tua harus mampu berperan juga sebagai guru.<br />
guru juga mesti mampu berperan menjadi orang tua.<br />
<br />
Sebuah catatan kecil,<br />
Untuk mimpi besar anak bangsa!<br />
5 Agustus 2015</div>
tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-38583341325680504562014-10-19T19:51:00.000-07:002014-10-19T19:51:48.474-07:00Memahami Adalah Caraku Mencintai<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Memahami Adalah Caraku Mencintai<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Marnarita
Yarsi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fikri, sulungku belum enam tahun
ketika aku daftarkan ia ke sebuah Sekolah Dasar. Keputusan itu membuatku di hari-hari
selanjutnya selalu berdebar, apakah keputusan ini adalah keputusan yang tepat! </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam sebuah forum ilmiah, aku
mendapatkan informasi dari seorang
dokter ahli <i>neuroscience</i>. “Ibu-ibu seharusnya mengkampanyekan agar
anak-anak Indonesia masuk Sekolah Dasar minimal pada usia tujuh tahun. Pada usia tujuh tahun itulah sebenarnya saraf
otak anak telah benar-benar siap
menerima beratnya beban kurikulum Sekolah Dasar”. Informasi ini setelah Fikri-ku terdaftar
sebagai murid SD! Ini betul-betul menghentak nuraniku sebagai ibu. Rabb</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">i</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">,
betapa teganya aku. Kesanggupan seorang
anak memasuki Sekolah Dasar ternyata di tujuh tahun! Bukan enam tahun! Apalagi kurang dari enam tahun!! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hari pertama di sekolah dasar pertama.
Aku ikut mengantar Fikri dengan maksud </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">menambahkan </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">semangat! Masih pagi sekali ketika kami tiba. Namun di
pintu kelas telah ramai dengan orang tua murid. Aku bertanya-tanya, ada apa rupanya,
sekumpulan ibu itu memenuhi pintu kelas.
Aku dan Fikri mencari-cari tempat yang agak lega tak jauh dari sana, mengamati
sekeliling sebagai pengenalan awal lingkungan sekolah. Aku melirik Fikri, wajahnya nyaris tanpa
ekspresi, sangat datar!</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tak lama setelah kami duduk diam,
pintu kelas yang tadinya ramai dengan orang tua murid, tiba-tiba menimbulkan
bunyi gaduh. Reflek kami berdua menoleh
dan…..!!! Orang tua yang tadinya berada di depan pintu, berebut masuk
mencarikan tempat duduk untuk anak-anak mereka.
Aku dan Fikri saling berpandangan.
Wajah Fikri masih datar, nanar!! Aku menduga bahwa dia tidak suka dengan
situasinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tapi akhirnya dia tersenyum. “Ayuk </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Mi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, pintu kelasnya sudah
dibuka,” ucapnya sambil melangkah menuju ruang kelasnya yang bingar.
Hmh….Aku masih gelagapan, terpesona dengan ‘ambisi’ ibu-ibu</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> itu,</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> yang </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">terlihat lebih ngotot</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">dari pada</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> anak</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">-anak</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">nya. Dalam hati, aku
bersyukur, Fikri tidak terganggu karenanyanya.
Hebat! Aku saja yang dewasa, merasa</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">
cukup terganggu dengan</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> suasana kurang nyaman
ini </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dari luar kelas aku mengamati Fikri
yang sibuk mencari tempat duduk yang nyaman untuknya. Aku menahan
diri untuk tidak ikut campur! Aku ingin Fikri mandiri, menentukan
sendiri apa yang terbaik menurut pilihannya.
Akhirnya Fikri memutuskan untuk memilih tempat duduk paling belakang.
Memang, dia kalah bersaing dengan ibu-ibu temannya yang berebut memilih kursi
yang paling depan dan strategis. Sekilas
dia menoleh ke arahku dan tersenyum samar. “Di sini, </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Mi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">,” isyaratnya memohon
restu. Aku mengacungkan jempol yang
sedikit bergetar</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">. Kepalaku
mengangguk menandakan persetujuan.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Aku mulai tidak yakin dengan kualitas sekolah
ini, dimana Fikri sudah aku daftarkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Selanjutnya,
dari cerita Fikri, keraguanku terhadap sekolah </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">itu</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> semakin </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">kuat saat suatu kali aku berbincang dengan Fikri.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
<span lang="EN-US">“</span></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">,
memangnya </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Fikri</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
pintar</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> yah</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">?” Komentar Fikri saat
suatu ketika aku memanggilnya dengan sapaan “Hai pintar </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">..” Aku </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">memandang
Fikri prihatin</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">.
Mengapa konsep diri Fikri menjadi rendah? Padahal selama ini, dia cukup
percaya diri meskipun karakternya adalah seorang anak yang pemalu. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku mulai menggali informasi</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> dengan banyak mengajak </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fikri</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> berdiskusi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Hingga</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
suatu Senin </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">aku </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">datang
ke sekolah</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">nya</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">.
</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">A</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">manat Kepala Sekolah di
upacara pagi itu</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">,</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
membuatku </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">‘patah hati</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">’</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Jadi, anak-anak yang pintar di sekolah ini,
akan dipisahkan dari anak-anak yang bodoh..” A</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">g</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">hhh!!! Seluruh tubuhku </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">terasa mendidih. Rasanya aku ingin marah!</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Mengapa paradigma ini masih saja ada. Anak-anak awal sekolah dasar yang sudah lancar
membaca, menulis dan berhitung disebut sebagai pintar dan dipisahkan dari
teman-teman mereka yang belum lancar.
Malangnya, anak-anak yang belum lancar – termasuk Fikri - disebut
sebagai bodoh! Begitu tega!!!</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Padahal,
semua anak adalah luar biasa dan memiliki keunggulan tertentu yang berbeda
antara satu dan lainnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akhirnya hanya bertahan tiga bulan
Fikri bersekolah di sana. Setelah itu,
aku dan Fikri memutuskan untuk pindah ke sekolah yang</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> menurut kami</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> lebih sesuai. Sekolah yang mengembangkan proses
pembelajaran berdasarkan prinsip bahwa setiap anak adalah manusia yang unggul
dan berpotensi. Semua anak adalah pintar</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">M</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">ereka
akan distimulasi dan mendapatkan</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">cara</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> pembelajaran berbeda
antara satu dan lainnya. Segala
sesuatunya dikondisikan agar kecerdasan anak dapat berkembang optimal. Bismillah, kami akhirnya mengambil suatu
keputusan yang sulit. Pindah sekolah!!! Padahal baru tiga bulan, Fikri belajar
beradaptasi dengan lingkungan barunya,
sekarang dia sudah harus beradaptasi lagi.
Apakah Fikri bisa menjalaninya dengan mulus? Apakah usianya yang baru tepat enam tahun
tidak akan menghambat proses adaptasinya? Apakah Fikri tidak akan merasa tertekan? Ahh!!
Bermacam pertanyaan menyertai keputusan kami saat memasuki sekolah baru.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-right: -22.5pt; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di ruang kepala sekolah baru, aku merasa ragu. Seorang </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">B</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">apak
yang masih muda, duduk di belakang meja.
Hatiku </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">berbisik,</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
tidak mungkin</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> Bapak ini</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">seorang </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">kepala sekolah.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-right: -22.5pt; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Silahkan ibu.
Ada yang bisa saya Bantu?” Suara
bapak itu</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> menyentakkan lamunan sekaligus</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
<span lang="EN-US">menjawab keraguanku.
Memang ternyata beliaulah kepala sekolah. Aku menarik nafas, seolah Allah memberikan
sebuah kesadaran saat itu. Selama ini
aku memandang rendah kepada teman-teman guru.
Ini disebabkan pengalaman dulu, ketika aku melewati test penerimaan
mahasiswa baru, 14 tahun yang lalu.
Teman – teman yang tidak diterima di universitas, akan melanjutkan ke
sekolah kependidikan untuk menjadi guru.
Karena <i>image negative</i> itu,
tanpa disadari aku telah menganggap enteng tugas mulia dari seorang guru. Sekarang malah aku mendapatkan diriku
mencari-cari dan membutuhkan peran seorang guru untuk dapat membantuku,
mendampingi Fikri di sekolah. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-right: -22.5pt; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kami berdiskusi.
Beliau kelihatan begitu menguasai metodologi dan s</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">i</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">st</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">i</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">m pendidikan modern dan
terintegrasi. Sekolah ini memandang
bahwa setiap anak itu unik dan semua anak memiliki bakat dan potensi yang
menunggu untuk dikembangkan. Cara
belajarnyapun dengan memberlakukan anak sebagai subjek/pelaku dan ini cocok
sekali untuk Fikri yang kinestetik (belajar dengan melakukan). Selanjutnya Fikri</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> bahkan</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> diizinkan untuk <i>sit in</i>, kesempatan untuk mencoba apakah
Fikri nyaman atau tidak belajar di sekolah itu.
Akhirnya, Fikripun memutuskan untuk didaftarkan di sana.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hari selanjutnya yang kami lalui
ternyata semakin berat dan sulit. Di
luar dugaanku, Fikri menjadi sangat
berbeda. Percaya dirinya menurun drastis. Setiap memasuki sekolah barunya, ia
bersembunyi di belakangku. “</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, aku tidak mau
ditinggal,” serunya setiap kali aku izin pulang setelah mengantarkannya. Bajuku ditarik-tarik. Aku dapat merasakan, betapa </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">tidak nyamannya</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> ia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kepala sekolah memberiku waktu
paling lama satu bulan untuk menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah. Aku lega, karena kepala sekolah dan guru-guru
di sini sangat kooperatif dengan kebutuhan anak. Jadilah aku yang harus berjuang melawan rasa
bosan, duduk manis selama tujuh jam di sekolah Fikri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hari pertama, kedua, hingga minggu
pertama aku masih punya semangat.
Sembari menunggu Fikri, aku mempelajari sekolah ini dari dekat. Bagaimana guru-gurunya, bagaimana proses belajarnya
dan syukurlah aku tidak menyesal dengan pilihanku! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Namun, lewat seminggu, Fikri masih
belum ada perubahan. Aku harus
menunggunya di ruang tunggu, meskipun di dalam kelas dia tidak pernah
sedetikpun </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">hirau dengan keberadaan</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">ku. Ada apa gerangan dengan Fikri? Aku mulai berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan? Sementara tentu sekolah juga memili</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">ki</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> kebijakan yang juga
harus aku hormati. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Nak, menurutmu, apa yang bisa kita
lakukan agar Fikri bisa nyaman di sekolah tanpa ditemani </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">?” aku memandang sulungku serius. Mengharapkan dia bisa mengemukakan beberapa
alternatif untuk mengatasi masalahnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Fikri tidak tahu, </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. Tapi di kelas itu Fikri merasa takut</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">?</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">” Warna suaranya
ragu. “Ya </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Mi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, Fikri takut!” Lanjutnya menegaskan.
“Sebab, teman-teman Fikri semua anak pintar, mereka bisa berhitung dalam bahasa
Inggris.” </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku menarik nafas dalam-dalam,
apakah ini efek yang tidak sengaja ditimbulkan oleh sekolah sebelumnya?
Entahlah! Aku berhati-hati memilih kata
yang akan aku ucapkan. Aku khawatir,
jangan sampai komentarku malah membuat Fikri semakin tidak percaya diri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Sayang, akan tiba saatnya kamu
akan lancar berbahasa Inggris seperti teman-temanmu. Kamu baru belajar! Yakinlah, kamu pasti
bisa!” ujarku memberi semangat. “Namun,
yang lebih penting lagi, kesiapan mu untuk berada di sekolah tanpa </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi! </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kesempatan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> menemanimu hanya
tinggal satu minggu lagi, Nak!” Suaraku
mulai meninggi. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Terus terang, aku mulai merasa </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">tidak nyaman</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, setiap pagi
hingga siang menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah, tujuh jam sehari dan lima
hari seminggu. Jenuh! Bosan! Dan di
hadapan Fikri, aku harus selalu kelihatan segar, tegar, dan siap memberikan
dukungan hingga dia mampu menjalaninya sendiri. Uff!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tepat sebulan. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan
sekolah, kami membuat kesepakatan. Pagi
sekali ketika bersiap-siap ke sekolah, aku sudah menyampaikan kepada Fikri
bahwa hari ini Fikri sudah mampu sendiri di sekolah barunya. “Selamat nak, ini adalah hari pertamamu tanpa
</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi!</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Kamu pasti berhasil, Nak, kamu pasti bisa! Karena kamu adalah kebanggaan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">.” Ujarku menggebu. “Dan sepulang sekolah nanti, kamu akan
mendapatkan hadiah spe</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">s</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">ial
dari </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi dan Abi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">!” Lanjutku
bersemangat. Dalam hati aku berdoa,
semoga Allah memudahkan jalan bagi Fikri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pagi itu aku lihat Fikri
berseri-seri. Aku menduga, mungkin dia
juga berdebar-debar menghadapi keberhasilannya.
Sampai di parkiran sekolah, Fikri masih terlihat optimis. Aku terus </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">membakar
</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">semangat</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">nya</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">! Hingga tiba di gerbang sekolah! Ternyata ini lebih sulit dari yang kami bayangkan. Fikri seperti biasa bersembunyi di balik
tubuhku. Dadaku berdebar. Berhasilkah
Fikri? Bismillah, berkali-kali kalimat itu ku ucap. “Ayo nak.
Kamu bisa!” Sekilas Fikri
terlihat ragu. Lalu dengan wajah memelas,
Fikri memandangku. “</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">j</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">angan tinggalkan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Fikri</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">,” ia memohon
lirih. “Fikri takut!” Kembali kalimat
itu keluar dari mulutnya. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku menarik nafas gusar. Persendianku
lemas!</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kamu
pasti bisa,Nak! Ingat, hadiah yang sudah menunggumu sepulang sekolah nanti.”
Aku berusaha merayu.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Biarlah </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Mi,</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Fikri tidak mau
hadiah. Fikri mau ditemani. Fikri takut sendiri. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
tidak boleh pulang!” Suaranya mulai menangis.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Nak, tapi kita sudah membuat
kesepakatan bukan? Kamu harus mencoba! Kamu pasti bisa!”</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak!” Suara Fikri mulai
histeris. “Kenapa </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Fikri</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> harus dipaksa, </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Mi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">? </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Fikri</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> tidak mau sekolah!”
Fikri tersedu-sedu dipelukanku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku menjadi bingung apa yang harus
aku lakukan. Padahal tadi pagi kami
telah membuat kesepakatan. Aku peluk
Fikri, berusaha</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> membantu </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">menenangkan
perasaannya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ayo</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> lah</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Nak. Kamu pasti bisa!” Suaraku juga
sudah setengah menangis. Antara jengkel
dan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">hiba</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> melihat wajah Fikri
yang risau. Aku teringat pembicaraanku
kemarin dengan kepala sekolah. “Selama
satu bulan kita sudah melakukan pendekatan persuasi</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">f </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">dengan Fikri. Bagaimana selanjutnya, jika Fikri masih belum
bisa ditinggal, kita gunakan <i>shock therapy</i>?”
Itu penawaran kepala sekolah
kemarin. Dan aku menyetujui! Sebab, aku tidak punya pilihan. Aku juga tidak ingin memanjakan Fikri. Aku ingin mendidik Fikri dengan tepat! Lembut namun tegas. Aku punya harapan, Fikri menemukan percaya
dirinya kembali sebagai anak laki-laki.
Dan hari ini, adalah penentuannya!
<i>Shock therapy</i>? Tegakah aku
melakukannya kepada Fikri? Tepatkah cara
itu untuk membuat Fikri mandiri?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dari jauh aku lihat kepala sekolah
memberi isyarat. Hal ini tidak perlu
dijelaskan lagi. Aku harus meninggalkan
Fikri bagaimanapun caranya! Bismillah..</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">“Ya sudah. Sekarang
</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fikri silahkan</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">
ikut</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> berbaris</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> ya</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Nak.”
Aku memandang Fikri yang sudah tenang dalam peluk</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">an</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">ku.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tapi </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi jangan pergi. Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
janji?” Reflek kepalaku mengangguk. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Yah </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> janji, tidak akan
meninggalkanmu…,kecuali setelah kamu berada di kelas.” Aku berbisik melanjutkan
kalimat terakhir itu, agar Fikri tidak mendengarnya. Aku telah menyusun rencana. Begitu Fikri telah masuk ke kelasnya, jika
biasanya aku di ruang tunggu, hari ini aku akan pulang! Aku sengaja membawa dZikra, adik</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> Fikri</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, agar aku punya alasan
kuat untuk meninggalkan Fikri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Detik-detik yang mendebarkan itu
semakin dekat. Aku menahan nafas saat
Fikri memasuki pintu kelasnya. Sekilas
dia menatap ke arahku sambil mengacungkan jempolnya, sebagai isyarat tanda
terimakasihnya aku masih berada di ruang tunggu. Beberapa saat, ketika aku anggap dia sudah
larut dengan suasana kelasnya, diam-diam aku pamit </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">kepada</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> kepala sekolah. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">A</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">khirnya</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> aku</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> pasrah, apapun yang
akan terjadi nanti, mudah-mudahan itu adalah jalan terbaik bagi Fikri untuk
menemukan</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> kembali</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
<span lang="EN-US">kemandirian dan percaya dirinya.<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di parkiran sekolah, aku menyalakan
mesin mobil dengan sedikit gemetar.
Jantungku terasa berdebar lebih kencang dari biasa dan mataku berkali-kali
siaga menoleh ke arah gerbang sekolah</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">
yang terletak tidak jauh dari temaptku parkir</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. Bismillah, aku </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">mengendarai mobil</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <span lang="EN-US">perlahan</span></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> dan</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> sangat terkejut,
begitu tiba di gerbang sekolah </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">aku melihat</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
Fikri sudah menangis di ruang tunggu.
Wajahnya keliatan sangat tertekan, sedih, dan…sungguh, aku tidak dapat
menceritakan secara tepat apa yang dia rasakan.
Ingin rasanya aku balik ke parkiran dan menenangkan Fikri. Tapi, kesepakatan antara aku, kepala sekolah
dan Fikri, harus aku tunaikan.
Mudah-mudahan ini langkah terbaik bersama menuju kemandirian Fikri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku berusaha berwajah tenang. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Tanpa
turun dari kendaraan, a</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">ku turunkan jendela di
samping kemudi dan perlahan aku menginjak rem.
Kemudian aku berteriak kepada Fikri.
“Nak, kita coba ya. Kamu pasti
berhasil! Kamu pasti menang!” Ujarku dari belakang kemudi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">D</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">i
luar dugaanku, Fikri berlari menuju mobilku yang mulai bergerak. Sejenak aku panik. Apa yang harus aku lakukan. Apakah berhenti atau</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> terus</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> maju</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">?</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Aku menoleh kepada Fikri yang semakin
mendekat. Suara tangisnya yang tertekan
semakin jelas terdengar. Batinku semakin
berperang! Apakah aku harus mengalah?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Yang terjadi akhirnya aku menekan
pedal gas semakin dalam. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">P</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">erlahan</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> aku</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> meninggalkan gerbang
sekolah dan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">semakin </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">menjauh</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">i</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <span lang="EN-US">Fikri. Dari kaca spion dapat kulihat, Fikri menangis
dan berteriak memanggil-manggilku</span></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">,</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
berlari mengejar mobil yang bergerak dengan kecapatan 20 km/jam. Ya Tuhan!! Air
mataku mengalir deras. “Ayo Fikri! Ini
bagian dari perjuangan kita! Ini pasti berhasi! InsyaAllah!! Kamu merasakan ini
tidak nyaman bukan? </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">pun merasa demikian,
Nak. Tapi, kita harus mencoba segala cara!
Demi kemandirianmu!! Air mataku semakin deras. Bayangan Fikri di belakangku bertambah
samar. Dia semakin jauh tertinggal dari
mobilku yang terus melaju. Akhirnya, aku
tak sanggup! Aku memutar kemudi kembali menuju sekolah. Dzikra di sampingku ikut menangis dan protes
terhadap apa yang baru saja aku lakukan terhadap kakaknya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di ruang tunggu, Fikri duduk
sesenggukkan ditemani guru piket. Fikri
berlari memelukku begitu aku memasuki gerbang sekolah. “</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">,
jangan pergi! Jangan tinggalkan, Fikri!”
Ujarnya memelas. Sesenggukannya semakin
hebat ketika kupeluk dan dia kembali menangis.
Ya Allah, aku membelai kepalanya.
Bermacam perasaan bergejolak dalam hatiku. Aku merasa terharu, sedih, kesal, marah! Ahh!
Ini gagal! Ini harus sampai kapan? Aku
ingin berteriak sekuatnya melampiaskan sesuatu yang</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> saat itu terasa</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <span lang="EN-US">sangat
menyesakkan.<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akhirnya hari ini, belumlah menjadi
hari keberhasilan Fikri. Setengah hari,
aku terpaksa kembali menemani Fikri di ruang tunggu. Kepala sekolah dan wali kelas Fikri untungnya
sangat memahami situasi ini dan terus memberi dukungan. “Kita harus terus berusaha </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, ini hanya menunggu
waktu! Waktunya akan segera tiba! Saat Fikri sanggup jauh dari </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">!” Oh!! Aku seperti
mendapat segelas air saat</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> merasa</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
dahaga di gurun pasir. Aku mendapat
dukungan yang sangat aku butuhkan.
Rasanya mau saja aku mengembalikan Fikri kembali ke Taman Kanak-kanak,
karena memang umurnya belum cukup. Tapi?
Apakah itu tidak akan semakin memperburuk konsep dirinya jika ia berfikir
kenapa ia harus kembali ke sekolah yang tingkatnya lebih rendah? Allah!!!
Betapa rumitnya aku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tiga bulan sudah berlalu. Akhirnya suatu hari Fikri memberi usul. “</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, besok bagaimana kalau
kita coba</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> lagi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
tinggalkan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Fikri,</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
tapi tidak usah bilang </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">dulu</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Fikri
coba deh hanya memikirkan pelajaran dan mencoba untuk tidak terganggu bila Umi
tidak ada di sekolah</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">”</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
<span lang="EN-US">Usul Fikri polos. </span></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku memeluknya terharu. Allah, ternyata dia pun sibuk memikirkan cara
bagaimana seharusnya sehingga dia dapat mandiri di sekolah. Dan komentar itu
terlontar pada saat yang sangat tepat!
Saat aku sudah kehilangan semangat, saat aku sudah merasa putus asa,
merasa kesal, merasa capek!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Esoknya, kami melakukan apa yang
diusulkan Fikri. Setelah Fikri masuk
kelas, aku menunggu beberapa waktu.
Setelah itu, aku meninggalkan ruang tunggu menuju parkiran. Di parkiran aku kembali menunggu sejenak,
siapa tahu kejadian kemarin terulang kembali.
Namun gerbang sekolah terlihat sepi dan tenang. Aku menjalankan mobil perlahan. Aku melewati gerbang dengan sedikit berdebar,
dan…Alhamdulillah! Sejauh ini masih sesuai rencana. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akhirnya aku tiba di rumah. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">A</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">ku
menunggu dengan resah. Setiap
perpindahan detik membuat jantungku berdebar.
Menunggu-nunggu apakah ada khabar dari sekolah. Rasanya waktu bergerak terlalu lama. Hingga tiba waktunya menjelang Fikri pulang!
“Kriiing,” tiba-tiba telepon rumahku berdering.
Di seberang sana, suara yang sangat ku kenal. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">, ini Fikri. Fikri tadi hampir nangis lo waktu jam
istirahat</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> tapi </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fikri
tahan. Fikri bayangkan</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> Umi </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">berada dekat, ada di
ruang tunggu. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akhirnya, setelah jam
istirahat, Fikri masuk kelas lagi, Fikri sudah tidak ingat lagi harus ada </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Umi</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. Fikri berhasil </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Mi!</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Hebat kan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Mi! F</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">ikri telah menemukan
cara…” bla bla bla….Aku sudah tidak jelas mendengar perkataan sulungku yang
lugu. Allah!! Akhirnya. Mataku </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">basah.
Aku menangis menikmati keharuanku</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Tidak tahu cara berterimakasih yang lebih baik, aku hanya
mampu mengucapkan syukur kepada_Mu, Allahku! </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Alhamdulillah!</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<i><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jika anak
dibesarkan dengan dipahami, dia akan belajar peduli dan mengerti dengan
perasaan orang lain. Jika anak
dibesarkan dengan paksaan, dia akan belajar untuk memaksa orang lain untuk
tunduk pada kehendaknya . Wallahua’lam….<o:p></o:p></span></i></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Buat guru-guru</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">
SDIT</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> BIM angkatan I. Salut! Dan terimakasih banyak..<o:p></o:p></span></div>
</div>
tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-24110243937806702202014-08-31T21:04:00.000-07:002014-08-31T21:04:11.356-07:00Mereka yang Memiliki Mata Hati<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">Cerita Ammar Hari Ini<br /> <br />
Ammar, 5 tahun_ku, akhirnya pulang setelah sukses, kembali sekolah hari
ini! Ya, setelah 6 bulan mogok sekolah, sebab Ammar salah paham,
memahami dan memaknai pukulan perkenalan dari seorang temannya yang
autis, sebagai isarat permusuhan bukan persahabatan. <br /> <br /> Aghh...seketika Umi merasakan demikian lega melihat wajah Ammar siang ini terlihat sangat bahagia dan bangga. <span class="text_exposed_show">"Umi, sekarang Ammar sudah siap ke sekolah sendiri. Horeeeee!" </span></span><br />
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}"><span class="text_exposed_show">Ammar menunjukkan tangannya dengan bangga. Di lengannya
terukir gambar bintang, ada tiga jumlahnya. Ini sebuah apresiasi dari
sekolah yang membangkitkan motivasi Ammar luar biasa. <br /> Dan sebagai
hadiah untuk Ammar, Umi pun mengajak Ammar bertualang. Petualangan
bertema alat transportasi! Yipiiii....Petualangan dimulai dengan
menggunakan ojeg lalu dilanjutkan dengan angkot, alat transportasi yang
cukup asing untuk Ammar. Dan klimaks nya, Ammar naik commuter
line! Wowww...Seruuu nya berkeliling Jakarta Depok dengan Ammar.<br /> <br />
Semula Umi mengira, keretanya lega, karena sudah siang bukan jam pergi
pulang kantor. Perjalanan pun bukan menuju Jakarta. Namun ternyata,
commuternya cukup padat sehingga Ammar dan Umi harus berdiri. Seperti
biasa, mata Umi akan waspada, menemukan sedikit celah untuk bisa duduk,
terutama untuk Ammar. Semua wajah juga seperti biasa, tanpa dosa.
Seolah – olah tidak sadar bahwa ada seorang balita yang berhak
mendapatkan kursi prioritas, (*itu sih menurut Umi* hahaha).<br /> <br />
Pemandangan yang menarik selanjutnya, adalah sepasang tuna netra di
hadapan kami yang demikian menikmati perjalanannya. Romantis sekali,
melihat sang istri bersandar begitu manja di pundak suaminya. Fisik
mereka yang tidak sempurna, terlihat begitu sempurna memancarkan cinta
mereka! Entah mengapa, melihat wajah keduanya, terasa hati Umi menjadi
damai. <br /> <br /> Tiba – tiba si laki-laki tuna netra itu berdiri! Ia
terlihat berbicara sebentar kepada istrinya. Lalu di luar dugaanku, si
laki – laki tuna netra menyilahkan Ammar untuk duduk di kursinya. Haaa?
Jeritku dalam hati. Sungguh tak percaya! Banyak orang dengan fisik
sempurna yang ada di gerbong itu, hampir tidak peduli dengan Ammar.
Tapi laki - laki itu? Dengan apa dia bisa melihat Ammar? Bukankah dia
tuna netra? Dan dalam kebingunganku itu, si laki – laki tuna netra itu
benar – benar telah berdiri. Ammar kembali dipanggilnya untuk duduk di
kursinya. Perempuannya yang tuna netra juga terlihat berusaha
mengarahkan senyumannya dengan tepat ke arahku. Dan begitu saja aku
menjadi tersenyum juga. Entahlah, semoga dia bisa melihat senyum
ketakjubanku dengan mata hatinya. <br /> <br /> Tapi, karena perjalanan
dengan commuter line ini sesuatu yang baru bagi Ammar, Ammar lebih
memilih untuk berdiri di depan pintu commuter agar bisa melihat
pemandangan di sepanjang perjalanan. Dia kurang tertarik untuk duduk di
kursi yang sesungguhnya menjadi incaran banyak orang itu. Masih
terkagum – kagum, aku mengucapkan terimakasih kepada si laki – laki tuna
netra dan berkali – kali meyakinkan dia, bahwa Ammar lebih memilih
berdiri daripada menerima tawaran baiknya. Sebenarnya dalam hati, aku
yang justru ingin duduk di kursi yang ditawarkan untuk Ammar itu. Namun
jauh di lubuh hatiku terdalam, rupanya menolak keras! Mana mungkin aku
yang memiliki fisik yang sempurna, bisa kalah dengan pasangan itu!
Mana mungkin aku memutus kemesraan mereka demi menutupi kemanjaanku.
Ah, akhirnya aku yakinkan si laki – laki tuna netra itu untuk kembali
saja duduk di samping istrinya yang senantiasa tersenyum. <br /> <br />
Sungguh ini perjalanan menggetarkan, saat Allah mempertemukanku dengan
mereka, sepasang guru kehidupan. Sepasang tuna netra yang meski tidak
memiliki mata, namun mereka memiliki mata hati. Sepasang tuna netra
meski mereka tidak mampu melihat, namun mereka sangat peka merasakan....<br /> Berkahilah mereka ya Allah ...<br /> Berkahilah kami....<br /> </span></span><br />
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}"><span class="text_exposed_show">Jakarta, 25 November 2013<br /> <br /> </span></span></div>
tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-88145436180823391192012-10-03T18:21:00.001-07:002012-10-03T18:22:28.316-07:00Catatan Perjalanan, Sebuah Hikmah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div style="text-align: center;">
<div style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Catatan Perjalanan Menuju
Utara Jakarta</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">
Oleh: Marnarita Yarsi</span></b></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 5;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">
<br />
<b>Perjalanan Pertama</b><br />
<br />
Aku memulai perjalan pagi , menuju utara Jakarta. Sebenarnya suamiku sudah
mensponsori biaya taxi untuk perjalanan hari ini. Namun ada panggilan hati,
merasa tidak ingin menang sendiri, tidak ingin nyaman sendiri. Akhirnya aku
memutuskan untuk naik angkutan umum lain bersama mereka.<br />
<br />
Aku memilih angkutan umum yang nyaman dan ber-AC, membeli karcis dan melebur
dalam kebersamaan halte yang cukup menyiksa. Semakin lama, antrian penumpang
semakin panjang. Halte yang tadinya cukup lega, menjelma menjadi sempit dan
sesak, dengan pendingin ruangan yang tak nyala. Beberapa orang di sampingku
telah beberapa kali, mendecak, mendesah, mengekspresikan kekesalannya telah
menunggu sangat lama di sana! Lebih dari satu jam! <br />
<br />
Tentu aku tidak akan mengeluhkan ini! Karena situasi ini, akulah yang
memilihnya. Aku berusaha bersabar saja dalam antrianku yang terasa pengap. Aku
melihat sekeliling dengan wajah antusias yang aku paksakan. Semua orang telah
terlihat lelah. Kelelahan karena menunggu lama. Hanya satu dua orang yang masih
tetap tersenyum, mentertawakan nasib kami. <br />
<br />
Seorang perempuan kantoran, mulai mengeluarkan gerutuan karena pasti dia sudah
ditinggalkan waktu. Pasti dia sudah terlambat! Untunglah nasibku tidak seperti
dia. Jadwal mengajarku masih nanti siang.<br />
<br />
Ternyata menggunakan angkutan ini, waktu menjadi semakin sulit diprediksi! Aku
berfikir, ini adalah akibat dari komplikasi yang parah dalam keseimbangan
penggunaan jalan raya dan penyediaan sarana transportasi umum dalam kota.
Masyarakat diminta untuk menjadi pengguna angkutan umum dan tidak membawa
kendaraan sendiri dalam rangka mengurangi kemacetan Jakarta. Masyarakat diminta
rela saat jalanan bersama, menjadi semakin sempit karena angkutan umum itu,
eksklusif jalurnya. Tapi, ternyata? Masalah tidak selesai sampai di sana.<br />
<br />
Halte yang terlihat cukup luas tadinya, ternyata menjadi sangat sempit dan
sumpek karena sudah menampung hampir seratus manusia. Ditambah dengan masalah
waktu tunggu yang sangat lama. Apakah ada yang rela mengorbankan waktu dua jam
mereka yang sangat berharga hanya untuk menunggu? <br />
<br />
Akhirnya setelah satu jam setangah menunggu, (ada yang menunggu hampir dua jam)
angkutan itupun datang. Manusia yang tadinya antri berdesakan sekarang spontan
berdorongan. Dengan beberapa teriakan calon penumpang yang berusaha mengatasi
dorongan akupun mengalir dan berhasil mendapatkan tempat duduk. Aku sengaja
tidak mengambil posisi di depan. Mengapa? Karena itu adalah priority seats!
Kursi yang diprioritaskan untuk lansia, wanita hamil, penyandang cacat dan Ibu
yang membawa anak. Tentu pilihan tidak duduk di kursi itu, adalah sebuah siasat
agar aku tidak usah berkorban bila sewaktu-waktu ada penumpang yang memenuhi
kriteria priority seats. Aku menarik nafas lega di bangku yang nyaman itu
sambil pura-pura lupa bahwa ada wajah-wajah pasrah yang terpaksa berdiri di
sekelilingku.<br />
<br />
Perjalanan dimulai. Akhirnya aku merasakan juga kenyamanan menggunakan angkutan
umum ini. Tidak kena macet. Belum lama, saat berhenti di satu halte berikutnya?
Ups! Aku menahan nafas. Seorang Ibu menggendong balitanya berusaha menyusup
dalam kerumunan dan entah bagaimana, Ibu itu sudah berada di dekatku. Ada yang
berbisik di hatiku, agar aku mengalah dan mengikhlaskan tempat dudukku. Namun,
ada bisikan lain yang membuatku enggan untuk bergerak. Dan begitu saja
tiba-tiba aku merasa mengantuk, padahal sebelumnya aku asyik di dunia maya
melalui telepon genggamku. Dalam perang batin yang semakin seru, akhirnya aku
benar-benar tertidur. Entah bagaimana selanjutnya nasib si Ibu yang menggendong
anak itu.<br />
<br />
Saat aku terbangun, ternyata aku sudah melewati halte tujuanku. Masih merasa
resah karena terlewat, akhirnya aku turun di halte berikutnya. Menyebrangi lagi
jembatan penyebrangan, dan di sepanjang langkahku, pikiranku sibuk membayangkan
Ibu tadi. Ibu dengan tubuh ringkih yang menggendong anaknya. Ibu yang
seharusnya duduk di Priority Seats! Ibu yang seharusnya aku silahkan di tempat
dudukku. Dan pilihanku untuk tetap duduk, ternyata membuat perjalananku menjadi
sedikit bertambah panjang. <br />
<br />
Tidak ada yang terjadi kebetulan, semuanya pasti dari Allah yang Maha Mengatur.
Dan Allah, maafkanlah bila ternyata aku gagal, mendapat nilai bagus dari
ujian_Mu hari ini.<br />
<br />
<b>Perjalanan Kedua</b><br />
<br />
Minggu berikutnya di perjalanan yang sama menuju utara Jakarta. Tentu aku tidak
akan memilih angkutan umum yang kemarin lagi. Hampir dua jam waktuku tersia
dengan kaki yang sudah tidak berkompromi lagi harus berdiri lama. Akhirnya aku
bertekat bulat, naik taxi saja, sesuai fasilitas yang diberikan sang tercinta. <br />
<br />
Begitu sebuah taxi berwarna putih sudah di depan mata, ada angkutan lain yang
menggoda. Sebuah bis tua yang sedang parkir menunggu penumpang menuju utara.
Ha! Ini pilihan yang bagiku menjadi sangat menantang. Berada di bawah matahari
terik, menuju utara dengan sebuah bis tua yang menggunakan AC jendela. Masihkah
aku sanggup? Perjalanan yang sudah tidak pernah kujalani lagi sejak lama.
Perjalanan yang membuatku rindu mengulanginya lagi, bahkan bila mungkin bersama
sang tercinta, seperti dulu saat pertama bersama.<br />
<br />
Dan begitu saja, aku sudah duduk di bis itu di dekat jendela. Panas mulai
menyengat terasa. Satu per satu penumpang bertambah. Setiap yang naik, pasti
berwajah penuh harap mendapatkan kursi. Dan akhirnya, tepat di sebelahku,
berada seorang Ibu membawa bakul, keliatannya usai berdagang makanan ringan.
Tubuhnya yang besar, rapuh di makan usia. Dia tidak mendapatkan kursi dan
berdiri! Tuhan?!<br />
<br />
Batinku kembali berperang. Apakah kali ini, aku harus benar-benar mengalah dan
menyuruh Ibu paruh baya itu duduk? Bagimana ya? Aku pura-pura tidak melihat
wajah memelasnya dan berusaha berkonsentrasi dengan telepon genggamku. Sisi
hatiku yang lain berbisik, tidak salah juga aku membiarkannya saja. Orang lain
juga sama. Tidak ada yang memberinya duduk. Ah, dilema.<br />
<br />
Perjalanan sudah terasa separuhnya. Ibu di sampingku masih tetap berdiri. Namun
tiba-tiba ia merundukkan kepala, hingga kepalanya ada di dekat kepalaku.
Padahal dia berdiri dan aku duduk. Aku terkejut, Ibu itu sedang mengapa? Raflek
aku memeriksa mukanya dan..ya Tuhan. Ibu itu, tertidur! Tidur sambil berdiri <br />
<br />
Akhirnya aku tidak bisa membiarkan kemanjaanku untuk tetap duduk. Aku berdiri
dan mempersilahkan Ibu itu mengambil tempatku. Dengan ringan Ibu itu terkekeh,
“oh, kamu mau turun?” ujarnya tanpa terimakasih. Dan sesaat setelah dia duduk,
Ia pun tertidur. <br />
<br />
Aku mengamati sekeliling. Ada beberapa pemuda – pemuda yang bersikap sepertiku
tadi, tidak peduli. Mungkin mereka lelah, sehingga juga sulit untuk dapat
mengalah. Mataku mampir lagi di wajah paruh baya itu yang sudah tertidur pulas,
tanpa dosa tidak mengucapkan terimakasih padaku. Mungkin diapun sudah sangat
lelah sehingga melupakan norma. Dan aku? Ada ruang hati yang berteriak tak rela
atas sikapnya.<br />
<br />
Ah, biarlah! Aku tidak ingin hanya mendapat nilai bagus pada ujian_Mu hari ini,
Tuhan. Aku juga ingin bagus untuk nilai keikhlasan. Ternyata, tidak selalu
kebaikan yang kita berikan itu dihargai dan tampak berharga bagi orang lain. <br />
<br />
Hanya pada_Mu kuberharap, <br />
semoga segala kebaikan <br />
sesederhana apapun, <br />
akan menjadi sesuatu yang berharga, <br />
di hadapan_Mu,<br />
dalam penilaian_Mu <br />
Tuhanku.</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Bekasi, 2 Oktober 2012</div>
</div>
tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-55504719091829224252012-08-29T11:26:00.000-07:002012-08-29T11:26:20.309-07:00Kumpulan Puisi Ta'aruf saat TakdirNya Menyatukan Kita<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
rudi rusli <br />
<br />
<b>1. Bagi Perempuan T</b><br />
<br />
Aku tak akan memujamu<br />
bagai remaja pada cinta pertama<br />
hanya sebentuk rasa percaya<br />
yang sederhana: kau pendampingku<br />
di Jakarta yang belantara.<br />
<br />
ini hanya cukup keyakinan<br />
tanpa bimbang, bagai masa lalu.<br />
<br />
dan di sini, dengan terus memelihara<br />
nuansa romantik dalam pemenungan,<br />
kutunggu hari-hari<br />
mematangkan keyakinan<br />
atau takdir menulis lain<br />
pada aliran darah kita.<br />
<br />
perempuan T,<br />
ini bagai rindu<br />
tapi tak kubesarkan ia<br />
hingga membakar:<br />
sebab ini bukan lagi kisah remaja<br />
pada cinta pertama.<br />
<br />
<b>ini cinta persembahan</b><br />
<b>hanya bagi Tuhan dan kehidupan.</b><br />
<br />
Depok, 12 Februari 1998<br />
<br />
<br />
rudi rusli <br />
<br />
<b>2. DI ISTIQLAL</b><br />
<br />
T, tahukah: aku<br />
sedang berjuang<br />
mempuasakan rindu yang gelegak<br />
mengenangmu.<br />
:kau sedang mengapa?<br />
<br />
T, hidup zaman ini penuh ketidakpastian<br />
kecuali pertanyaanku yang selalu<br />
bergelut-gelut<br />
tentang kesudianmu<br />
mendampingi hari-hari<br />
mendatangku.<br />
<br />
masa depan!<br />
ingin kutahu rupa ujungnya.<br />
(ah, aku memang selalu ingin tahu takdir)<br />
<br />
atau mungkin ini<br />
yang dinamakan<br />
ketidaksabaran.<br />
<br />
Istiqlal, 7 Juli 1998<br />
<br />
#dan masa depan itu,<br />
ternyata dipersembahkanNya<br />
untuk kita<br />
sayang#<br />
Segala puji bagi Allah..<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<b>3. DI SAJADAH PANJANG</b><br />
<b>: buat perempuan T</b><br />
<b><br /></b>
Jadikan kami satu, Tuhan<br />
jadikan kami satu<br />
dalam lurusMu<br />
dalam jalanMu!<br />
<br />
begitu banyak godaan, Tuhan<br />
begitu banyak godaan<br />
begitu banyak jebakan<br />
begitu banyak setan<br />
bergentayangan<br />
dalam nyata dan angan.<br />
<br />
jadikan kami bersatu<br />
jadikan kami tenang<br />
jadikan hanya akhirat tujuan<br />
jadikan rahmatMu<br />
warna hidup kami<br />
sepanjang hari.<br />
<br />
Tuhan,<br />
alangkah singkat dunia<br />
alangkah panjang jalan menuju sorgaMu.<br />
berkahilah kami<br />
berkahilah!<br />
<br />
percetakan negara 2, 16 Oktober 1998<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<b>4. CERITA SAMAR ITU</b><br />
<b>: duh, perempuan T</b><br />
<br />
entah bagaiman terciptanya<br />
jalan ini jadi samar<br />
tak jelas ujung<br />
dan kau berkata-kata lugu<br />
dalam makna yang semakin hilang.<br />
<br />
inikah tarik ulur yang kau perankan<br />
dan aku bagai meraba dalamnya lautan<br />
dari ombak dan gelombang?<br />
<br />
sungguh, dalam telpon aku terlalu berharap<br />
mendengar dan mengukur suaramu<br />
sedang dalam kata-kata suratmu<br />
terbangun keraguan<br />
mu<br />
dan kekuatiran<br />
ku.<br />
<br />
penuh kontradiksi, T<br />
dan polusi makna ini<br />
perlu sangat dijauhkan<br />
dari rongga dada kita<br />
:aku penuh harap.<br />
<br />
dan T,<br />
ingin sekali<br />
kujangkau kejernihan<br />
dan kesegaranmu.<br />
<br />
percetakan negara 2, 16 Oktober 1998<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<b>5. SEUSAI TELPON</b><br />
<b>PAGI ITU</b><br />
<br />
kini, T:<br />
aku hanya butuh kepastian<br />
dan sebentuk kesetiaan<br />
dalam kebebasan kita: kau dan aku<br />
walau di ruang yang beda.<br />
<br />
siapatah yang diam-diam<br />
telah menyelinapkan rasa ragu<br />
dalam suaramu di telpon<br />
pagi kemarin?<br />
(hingga aku mesti menunggu jemu<br />
dalam ketersiksaan yang dalam)<br />
<br />
kini, T:<br />
kutimang-timang gerangan keputusanku<br />
dan keputusanmu<br />
dan bertempurlah hingga bulan mendatang<br />
rasa hati dan kerasionalan laki-lakiku.<br />
<br />
takdir mengalir<br />
dan aku air<br />
di alurNya.<br />
Insya<br />
Allah!<br />
<br />
Lapangan Banteng, 7 - 11 September 1998<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<b>6. CATATAN DARI RANTAU</b><br />
:T, inikah kanak-kanak?<br />
<br />
akupun menyala dalam senyap dan jarak yang kau ciptakan<br />
sepanjang jalan kembali dari rantau. angin yang kubayangkan<br />
menerpa halus jari-jemari tanganku, ketika lambai itu menyata:<br />
ah utopia, kau mengelincir liat tak kukira. apa kau ragu akan<br />
aku?<br />
justru jika tanya itu yang tersedia: aku mesti mematut-matut diri<br />
di cermin. aku bukan pemburu yang kau duga.<br />
dan tiba-tiba juga muncul rasa yang sama: kau serius?<br />
<br />
atau ini hanya permainan kanak-kanak<br />
sehabis lelah membacai berita kriminal,<br />
krisis politik dan rusuh di mana-mana.<br />
<br />
inilah angin ribut:<br />
dan aku mencoba mencari jawab<br />
buat seribu tanya tentangmu.<br />
kukuatirkan wajahmu<br />
luruh dari kenangan<br />
perjalananku.<br />
<br />
wahidin 2, 27 januari 1999<br />
<br />
<br />
<br />
#sayang, maafkan Masyit-mu<br />
saat itu<br />
membuat kecewa...#<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<br />
<b>7. TENTANG KOSONG</b><br />
(tertuju pada T)<br />
<br />
I.<br />
dengarlah sunyi ini, begitu pahit<br />
dan selalu saja baunya kau kibarkan<br />
dalam lagu-lagu malamku.<br />
<br />
<br />
II.<br />
tidak engkau yang sendirian terluka, adikku.<br />
sebuah tombak telah menancap tepat<br />
di jantungku<br />
ketika dengan sadar kutulis kata-kata perpisahan<br />
: seperti yang telah kita siapkan, ini semua<br />
tanpa air mata.<br />
<br />
<br />
III.<br />
Allah saja yang tahu kemana akhir semua ujung<br />
dan aku, dari kejauhan<br />
membayangimu: doa yang baik<br />
insya Allah kukirim untukmu selalu.<br />
<br />
wahidin 2, 18 pebruari 1999<br />
<br />
#hiks...untunglah Allah<br />
akhirnya mempertemukan kita, sayang#<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<br />
<b>8. KEMBALI</b><br />
kepada perempuan T<br />
<br />
<br />
kini, kembali aku padamu<br />
kembali padamu<br />
setelah tersesat<br />
dalam keruhnya<br />
kekecewaan yang keliru.<br />
<br />
aku ingin menyentuh<br />
sejuk dan segarmu<br />
saat bertemu<br />
dan tak lagi kan jauh.<br />
<br />
memang kubaca ragu di wajahmu<br />
namun lihatlah aku sungguh-sungguh<br />
: kini tak kubiarkan kesempatan ini<br />
menjadi tersia, bahkan oleh angin<br />
seribut apapun.<br />
<br />
Lapangan Banteng, 24 September 1999<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<br />
<b>9. CERITA TENTANGMU</b><br />
<b>: buat T lagi</b><br />
<br />
<br />
siapatah yang dulu malu-malu<br />
mengungkapkan maksud<br />
dan<br />
aku kehilangan makna<br />
dalam bahasamu.<br />
<br />
siapatah yang dulu tenggelam<br />
pada laut yang jauh<br />
dan aku<br />
kehilangan peta<br />
menjangkau kedalamnnya.<br />
<br />
aku pun bicara: komunikasi!<br />
kita pun berjabat tangan<br />
dalam percakapan damai<br />
setelah badai<br />
yang sunyi.<br />
<br />
kini kita harus kembali belajar<br />
lebih cermat tentang tanda-tanda.<br />
<br />
<br />
Lapangan Banteng, 14 Oktober 1999<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<br />
<b>10. NOSTALGIA HARI INI</b><br />
<br />
<br />
dan bernyanyilah dengan suaramu yang bisu<br />
lupakan mimpi-mimpi yang terbang<br />
: aku tak lagi memegang teguh harapan<br />
hanya mengenang.<br />
<br />
seperti yang dapat kau tebak, ini menjadi<br />
tetes air mata yang terpendam<br />
dan dirimu jadi bingkai yang menggantung<br />
tak terjangkau<br />
(tapi kau bilang: aku dekat! aku dekat!)<br />
<br />
lupakan harapan<br />
lupakan harapan<br />
: apakah membuat<br />
kita<br />
lebih berani dengan<br />
kenyataan?<br />
<br />
wahidin raya, 27 maret 2000<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<b>11. CERITA KITA AKHIRNYA</b><br />
<b>: dalam luka*)</b><br />
<br />
<br />
barangkali aku harus akui kalah<br />
di semua pertempuran itu<br />
dan harapan<br />
yang kita pendam<br />
kita benam<br />
dalam-dalam.<br />
<br />
aku akan sulit melupakan<br />
hari-hari lalu<br />
dan wajahmu yang membayang<br />
sepanjang kenangan.<br />
<br />
sajak ini sajak sepi<br />
cerita air mata dan perih.<br />
ini sejarah<br />
dan kita cuma<br />
wayang-wayangnya.<br />
<br />
<br />
suatu hari di tahun 2000<br />
seusai kesepakatan yang emosional.<br />
*) dalam luka, ternyata mengelirukan.<br />
<br />
<br />
<br />
rudi rusli<br />
<br />
<br />
<b>12. CERITA KITA</b><br />
<b>PASKA DUKA</b><br />
<br />
<br />
dan badai berlalulah!<br />
aku penuh<br />
tekad mengikat<br />
mu dalam mahligai<br />
cita-cita keluarga<br />
sakinah.<br />
<br />
dan duka sirnalah!<br />
tanganku kan selalu terbuka<br />
menyambutmu dalam<br />
perjalanan hidup bersama<br />
dan insya Allah<br />
diberkahiNya.<br />
<br />
dan senyum kita, mengembanglah!<br />
<br />
<br />
percetakan negara 2, 21 Desember 2000 <br />
<br /></div>
tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-64029099735362499462011-10-17T20:49:00.001-07:002012-05-11T10:10:07.632-07:00Doa Istimewa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div align="center"><b>Do’a Istimewa</b></div><div align="center">Marnarita Yarsi (Jatiwaringin)</div><div align="center"></div><div align="center"><img alt="" src="http://dnasuksesmulia.com/images/stories/img00003-20111001-0927.jpg" style="float: left; height: 110px; margin-left: 5px; margin-right: 5px; width: 100px;" /></div>Aku memandang wajah tua itu. Masih seperti dulu, bersemangat, ceria dan yang terpenting di setiap tuturnya adalah doa-doa untukku. Dia menceritakan bagaimana kehidupannya sekarang yang tak jauh berbeda. Kerja kerasnya selama ini, meniti karir sebagai pembantu rumah tangga seolah tak ada hasil. Perempuan itu telah semakin tua, sehingga tak sanggup lagi bekerja rumah tangga. Yang dia lakukan kini adalah memulung sehingga dia bermukim di komunitas pemulung di bilangan Bintaro.<br />
<br />
“Saya tidak punya tempat mengadu lagi di sana,” ujarnya lirih seraya menyodorkan lembaran kertas yang berisi tagihan atas tunggakan biaya sekolah anaknya. Aku menatapnya sejenak, seolah tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut tuanya. “Semenjak Ibu pindah rumah, hidup saya pun luntang-lantung, tidak ada yang peduli.” Kalimatnya meluncur bergetar. Ada kesedihan yang berusaha dikendalikannya. Tapi akhirnya, Ibu itupun tidak tahan untuk tidak menangis.<br />
<br />
“Tolong saya Bu, Iwan harus melanjutkan sekolah,” pintanya di sela-sela isak tangisnya.<br />
<br />
Iwan adalah anaknya. Bahkan saya tidak mengenal nama Ibu tua itu, hanya mengenalnya dengan sebutan Ibu Iwan. Empat tahun silam, saya berdomisili di Kampung Utan – Ciputat, berdekatan dengan kehidupan Iwan dan keluarganya. Saat itu, Iwan adalah anak asuh saya. Apapun masalah sekolahnya, atas izin Allah dapat kami atasi. Tapi sama sekali aku tidak menduga bahwa setelah aku pindah ke Bekasi, Iwan tidak menemukan orang tua asuh yang lain.<br />
<br />
Aku menarik nafas. Memandang wajah tua itu yang terlihat lelah. Tidak sedikit jarak yang ditempuhnya untuk menjumpaiku. Dari Bintaro (provinsi Banten) ke Bekasi (provinsi Jawa Barat) melalui DKI Jakarta, luar biasa! Demi memperjuangkan pendidikan anaknya.<br />
<br />
“Untuk ongkos ke sini, saya meminjam uang ke tetangga, Bu. Saya rindu sama Ibu, saya harus menyelamatkan sekolah Iwan.” Suaranya sendu.<br />
<br />
Aku tidak dapat berkomentar apapun. Bila yang berada di hadapanku adalah seorang yang berpendidikan, tentu aku akan melarangnya jauh-jauh mengunjungiku . Cukup dengan telepon, masalah bisa selesai. Biaya yang dikeluarkannya untuk ke rumahku, sama dengan penghasilannya satu minggu. Agghh!!<br />
<br />
Seperti biasa, aku lalu menenangkannya. “InsyaAllah, selalu ada rejeki. Ibu jangan khawatir, saya akan menghubungi pimpinan sekolah Iwan dan akan membantu meringankan beban ini”.<br />
<br />
“Terimakasih Bu, terimakasih.” Mata tua itu banjir air mata. “Allah yang membalas ya Bu, Allah yang membalas.” Lirihnya berkali-kali. Aku hanya menatapnya haru. Beberapa saat, aku biarkan dia terisak meluapkan perasaannya.<br />
<br />
Peristiwa ini terjadi tahun 2010. Akupun sudah tidak ingat kapan persisnya. Namun suatu keajaiban besar terjadi dalam hidupku. Di pertengahan 2011, atas izin Allah aku mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kemendiknas untuk melanjutkan pendidikan Strata II di Universitas Negeri Jakarta. Jumlah beasiswa itupun jauh melebihi apa yang pernah aku beri selama ini untuk anak-anak asuhku. Aku berpikir, ini sungguh menakjubkan, karena statusku bukanlah wanita karir yang sarat prestasi.<br />
<br />
Ada seuntai doa yang senantiasa terngiang – ngiang di telingaku. Doa Ibu Iwan, “Allah yang membalas ya Bu, Allah yang membalas.”<br />
<br />
Agghhh. Bu Iwan, tahukah kamu, sekarang Allah telah mengabulkan salah satu doa’mu. Dia telah memberi balasan istimewa untukku. Sungguh disisi Allah, sedikit kebaikanpun tidak pernah sia-sia.<br />
<span class="article_separator"> </span> <br />
<div id="right" style="position: static; z-index: 100;"><div class="module" style="position: static; z-index: 100;"><div id="mid" style="position: static; z-index: 100;"><div class="inside" style="position: static; z-index: 100;"><div align="left" class="swmenu" id="sw-wrap" style="z-index: 101;"><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="swmenu" id="swmenu"><tbody>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
<tr> <td class="last"><br />
</td> </tr>
</tbody></table></div><div id="subwrap"><div class="transMenu top" id="TransMenu0" style="height: 39px; visibility: hidden; width: 174px;"><div class="content" style="height: 37px; left: -174px; width: 172px;"><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" class="items"><tbody>
<tr class="item"><td id="TransMenu0-0" nowrap="nowrap" style="padding-left: 0px; padding: 0px;"><br />
</td><td style="padding-right: 0px; padding: 0px;"><img src="http://dnasuksesmulia.com/modules/mod_swmenufree/images/transmenu/x.gif" /></td></tr>
</tbody></table></div></div></div></div></div></div><div class="clear"></div><div class="module"><div id="mid"><div class="inside"><div style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(0, 0, 0); text-align: center;"><table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" style="height: 462px; width: 245px;"><tbody>
<tr> <td style="height: 30px; width: 638px;"><br />
</td> </tr>
<tr> <td style="text-align: left; width: 638px;"><br />
</td> </tr>
</tbody> </table></div><br />
</div></div></div><div class="clear"></div></div><div class="clear"></div></div>tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-25682688946377890482010-07-31T02:17:00.002-07:002012-05-11T10:09:28.601-07:00Bunda Berusaha Memahami<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Fikri, sulungku belum enam tahun ketika aku daftarkan ia ke sebuah Sekolah Dasar. Keputusan itu membuatku di hari-hari selanjutnya selalu berdebar, apakah keputusan ini adalah keputusan yang tepat! Dalam sebuah forum ilmiah, aku mendapatkan informasi dari seorang dokter ahli <i>neuroscience</i>. “Ibu-ibu seharusnya mengkampanyekan agar anak-anak Indonesia masuk Sekolah Dasar minimal pada usia tujuh tahun. Pada usia tujuh tahun itulah sebenarnya saraf otak anak telah benar-benar siap menerima beratnya beban kurikulum Sekolah Dasar”. Informasi ini setelah Fikri-ku terdaftar sebagai murid SD! Ini betul-betul menghentak nuraniku sebagai ibu. Rabbana, betapa teganya aku. Kesanggupan seorang anak memasuki Sekolah Dasar ternyata di tujuh tahun! Bukan enam tahun! Apalagi kurang dari enam tahun!! Allah!!<br />
<br />
Hari pertama di sekolah dasar pertama. Aku ikut mengantar Fikri dengan maksud memberi semangat. Masih pagi sekali ketika kami tiba. Namun di pintu kelas telah ramai dengan orang tua murid. Aku bertanya-tanya, ada apa rupanya, sekumpulan ibu itu memenuhi pintu kelas. Aku dan Fikri mencari-cari tempat yang agak lega tak jauh dari sana, mengamati sekeliling sebagai pengenalan awal lingkungan sekolah. Aku melirik Fikri, wajahnya nyaris tanpa ekspresi, sangat datar!!<br />
<br />
Tak lama setelah kami duduk diam, pintu kelas yang tadinya ramai dengan orang tua murid, tiba-tiba menimbulkan bunyi gaduh. Reflek kami berdua menoleh dan…..!!! Orang tua yang tadinya berada di depan pintu, berebut masuk mencarikan tempat duduk untuk anak-anak mereka. Aku dan Fikri saling berpandangan. Wajah Fikri masih datar, nanar!! Aku menduga bahwa dia tidak suka dengan situasinya.<br />
<br />
Tapi akhirnya dia tersenyum. “Ayuk bunda, pintu kelasnya sudah dibuka,” ucapnya sambil melangkah menuju ruang kelasnya yang bingar. Hmh….Aku masih gelagapan, terpesona dengan ‘ambisi’ ibu-ibu yang begitu terobsesi dengan pendidikan anaknya. Dalam hati, aku bersyukur, Fikri tidak terganggu karenanyanya. Hebat!! Aku saja yang dewasa, merasakan suasana kurang nyaman ini cukup menggalaukan hati.<br />
<br />
Dari luar kelas aku mengamati Fikri yang sibuk mencari tempat duduk yang nyaman untuknya. Aku menahan diri untuk tidak ikut campur! Aku ingin Fikri mandiri, menentukan sendiri apa yang terbaik menurut pilihannya. Akhirnya Fikri memutuskan untuk memilih tempat duduk paling belakang. Memang, dia kalah bersaing dengan ibu-ibu temannya yang berebut memilih kursi yang paling depan dan strategis. Sekilas dia menoleh ke arahku dan tersenyum samar. “Di sini, bunda,” isyaratnya memohon restu. Aku mengacungkan jempol yang sedikit bergetar, tidak yakin! Ya! Aku mulai tidak yakin dengan kualitas sekolah ini, dimana Fikri sudah aku daftarkan.<br />
<br />
Selanjutnya, dari cerita Fikri, keraguanku terhadap sekolah Fikri semakin bertambah. <br />
“Bunda, memangnya aku pintar?” Komentar Fikri saat suatu ketika aku memanggilnya dengan sapaan “Hai pintar bunda..” Aku terkejut mendengarnya. Mengapa konsep diri Fikri menjadi rendah? Padahal selama ini, dia cukup percaya diri meskipun karakternya adalah seorang anak yang pemalu. Aku mulai menggali informasi. Aku berdiskusi dengan Fikri. Aku suatu Senin datang ke sekolah. Aku mendengarkan amanat Kepala Sekolah di upacara pagi itu. Seuntai kalimat membuatku merinding. <br />
“Jadi, anak-anak yang pintar di sekolah ini, akan dipisahkan dari anak-anak yang bodoh..,” Ahhh!!! Seluruh tubuhku menjadi lemah. Mengapa paradigma ini masih saja ada. Anak-anak awal sekolah dasar yang sudah lancar membaca, menulis dan berhitung disebut sebagai pintar dan dipisahkan dari teman-teman mereka yang belum lancar. Malangnya, anak-anak yang belum lancar – termasuk Fikri - disebut sebagai bodoh! Begitu tega!!! Padahal, semua anak sepengetahuanku, adalah manusia yang memiliki potensi luar biasa dan memiliki keunggulan tertentu yang berbeda antara satu dan lainnya. <br />
<br />
Akhirnya hanya bertahan tiga bulan Fikri bersekolah di sana. Setelah itu, aku dan Fikri memutuskan untuk pindah ke sekolah yang lebih sesuai. Sekolah yang mengembangkan proses pembelajaran berdasarkan prinsip bahwa setiap anak adalah manusia yang unggul dan berpotensi. Semua anak adalah pintar dan mereka akan distimulasi dan mendapatkan pembelajaran berbeda antara satu dan lainnya. Segala sesuatunya dikondisikan agar kecerdasan anak dapat berkembang optimal. Bismillah, kami akhirnya mengambil suatu keputusan yang sulit. Pindah sekolah!!! Padahal baru tiga bulan, Fikri belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya, sekarang dia sudah harus beradaptasi lagi. Apakah Fikri bisa menjalaninya dengan mulus? Apakah usianya yang baru tepat enam tahun tidak akan menghambat proses adaptasinya? Apakah Fikri tidak akan merasa tertekan? Ahh!! Bermacam pertanyaan menyertai keputusan kami saat memasuki sekolah baru.<br />
<br />
Di ruang kepala sekolah baru, aku merasa ragu. Seorang bapak yang masih muda, duduk di belakang meja. Hatiku membisikkan keraguan bahwa bapak muda yang ada di hadapanku ini, tidak mungkin kepala sekolahnya.<br />
<br />
“Silahkan ibu. Ada yang bisa saya bantu?” Suara bapak itu akhirnya menjawab keraguanku. Memang ternyata beliaulah kepala sekolah. Aku menarik nafas, seolah Allah memberikan sebuah kesadaran saat itu. Selama ini aku memandang rendah kepada teman-teman guru. Ini disebabkan pengalamanku dulu, ketika aku melewati test penerimaan mahasiswa baru, 14 tahun yang lalu. Teman – teman yang tidak diterima di universitas, akan melanjutkan ke sekolah kependidikan untuk menjadi guru. Karena image negative itu, tanpa disadari aku telah menganggap enteng tugas mulia dari seorang guru. Sekarang malah aku mendapatkan diriku mencari-cari dan membutuhkan peran seorang guru untuk dapat membantuku, mendampingi Fikri di sekolah. <br />
<br />
Kami berdiskusi. Beliau kelihatan begitu menguasai metodologi dan system pendidikan modern dan terintegrasi. Sekolah ini memandang bahwa setiap anak itu unik dan semua anak memiliki bakat dan potensi yang menunggu untuk dikembangkan. Cara belajarnyapun dengan memberlakukan anak sebagai subjek/pelaku dan ini cocok sekali untuk Fikri yang kinestetik (belajar dengan melakukan). Selanjutnya Fikri diizinkan untuk sit in, kesempatan untuk mencoba apakah Fikri nyaman atau tidak belajar di sekolah itu. Akhirnya, Fikripun memutuskan untuk didaftarkan di sana.<br />
<br />
Hari selanjutnya yang kami lalui ternyata semakin berat dan sulit. Di luar dugaanku, Fikri menjadi sangat berbeda. Percaya dirinya menurun drastis. Setiap memasuki sekolah barunya, ia bersembunyi di belakangku. “Bunda, aku tidak mau ditinggal,” serunya setiap kali aku izin pulang setelah mengantarkannya. Bajuku ditarik-tariknya. Aku dapat merasakan, betapa resahnya ia.<br />
<br />
Kepala sekolah memberiku waktu paling lama satu bulan untuk menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah. Aku lega, karena kepala sekolah dan guru-guru di sini sangat kooperatif dengan kebutuhan anak. Jadilah aku yang harus berjuang melawan rasa bosan, duduk manis selama tujuh jam di sekolah Fikri. <br />
<br />
Hari pertama, kedua, hingga minggu pertama aku masih punya semangat. Sembari menunggu Fikri, aku mempelajari sekolah ini dari dekat. Bagaimana guru-gurunya, bagaimana proses belajarnya dan syukurlah aku tidak menyesal dengan pilihanku! <br />
<br />
Namun, lewat seminggu, Fikri masih belum ada perubahan. Aku harus menunggunya di ruang tunggu, meskipun di dalam kelas, dia tidak pernah sedetikpun menanyakan aku. Ada apa gerangan dengan Fikri? Aku mulai berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan? Sementara tentu sekolah juga memili kebijakan yang juga harus aku hormati. <br />
<br />
“Nak, menurutmu, apa yang bisa kita lakukan agar Fikri bisa nyaman di sekolah tanpa ditemani bunda?” aku memandang sulungku serius. Mengharapkan dia bisa mengemukakan beberapa alternatif untuk mengatasi masalahnya.<br />
<br />
“Fikri tidak tahu, bunda. Tapi di kelas itu Fikri merasa takut?” Warna suaranya ragu. “Ya bunda, Fikri takut!” Lanjutnya menegaskan. “Sebab, teman-teman Fikri semua anak pintar, mereka bisa berhitung dalam bahasa Inggris.” Aku menarik nafas dalam-dalam, apakah ini efek yang tidak sengaja ditimbulkan oleh sekolah sebelumnya? Entahlah! Aku berhati-hati memilih kata yang akan aku ucapkan. Aku khawatir, jangan sampai komentarku malah membuat Fikri semakin tidak percaya diri.<br />
<br />
“Sayang, akan tiba saatnya kamu akan lancar berbahasa Inggris seperti teman-temanmu. Kamu baru belajar! Yakinlah, kamu pasti bisa!” ujarku memberi semangat. “Namun, yang lebih penting lagi, kesiapan mu untuk berada di sekolah ini tanpa bunda. Kesempatan bunda menemanimu hanya tinggal satu minggu lagi, Nak!” Suaraku mulai meninggi. Terus terang, aku mulai merasa tertekan, setiap pagi hingga siang menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah, tujuh jam sehari dan lima hari seminggu. Jenuh! Bosan! Dan di hadapan Fikri, aku harus selalu kelihatan segar, tegar, dan siap memberikan dukungan hingga dia mampu menjalaninya sendiri. Uff!<br />
<br />
Tepat sebulan. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan sekolah, kami membuat kesepakatan. Pagi sekali ketika bersiap-siap ke sekolah, aku sudah menyampaikan kepada Fikri bahwa hari ini Fikri sudah mampu sendiri di sekolah barunya. “Selamat nak, ini adalah hari pertamamu tanpa bunda. Kamu pasti berhasil, Nak, kamu pasti bisa! Karena kamu adalah kebanggaan bunda.” Ujarku menggebu. “Dan sepulang sekolah nanti, kamu akan mendapatkan hadiah special dari ayah dan bunda!” Lanjutku bersemangat. Dalam hati aku berdoa, semoga Allah memudahkan jalan bagi Fikri.<br />
<br />
Pagi itu aku lihat Fikri berseri-seri. Aku menduga, mungkin dia juga berdebar-debar menghadapi keberhasilannya. Sampai di parkiran sekolah, Fikri masih terlihat optimis. Aku terus memberi semangat! Hingga tiba di gerbang sekolah! Ternyata ini lebih sulit dari yang kami bayangkan. Fikri seperti biasa bersembunyi di balik tubuhku. Dadaku berdebar. Berhasilkah Fikri? Bismillah, berkali-kali kalimat itu ku ucap. “Ayo nak. Kamu bisa!” Sekilas Fikri terlihat ragu. Lalu dengan wajah memelas, Fikri memandangku. “Bunda, Jangan tinggalkan aku,” ia memohon lirih. “Fikri takut!” Kembali kalimat itu keluar dari mulutnya. Aku menarik nafas gusar. Persendianku lemas!<br />
<br />
“Kamu pasti bisa,Nak! Ingat, hadiah yang sudah menunggumu sepulang sekolah nanti.” Aku berusaha merayu.<br />
<br />
“Biarlah bunda. Fikri tidak mau hadiah. Fikri mau ditemani. Fikri takut sendiri. Bunda tidak boleh pulang!” Suaranya mulai menangis.<br />
<br />
“Nak, tapi kita sudah membuat kesepakatan bukan? Kamu harus mencoba! Kamu pasti bisa!”<br />
<br />
“Tidak!” Suara Fikri mulai histeris. “Kenapa aku harus dipaksa, bunda? Aku tidak mau sekolah!” Fikri tersedu-sedu dipelukanku.<br />
<br />
Aku menjadi bingung apa yang harus aku lakukan. Padahal tadi pagi kami telah membuat kesepakatan. Aku peluk Fikri, berusaha menenangkan perasaannya yang galau. <br />
<br />
“Ayo Nak. Kamu pasti bisa!” Suaraku juga sudah setengah menangis. Antara jengkel dan hiba melihat wajah Fikri yang risau. Aku teringat pembicaraanku kemarin dengan kepala sekolah. “Selama satu bulan kita sudah melakukan pendekatan persuasive dengan Fikri. Bagaimana selanjutnya, jika Fikri masih belum bisa ditinggal, kita gunakan shock therapy?” Itu penawaran kepala sekolah kemarin. Dan aku menyetujui! Sebab, aku tidak punya pilihan. Aku juga tidak ingin memanjakan Fikri. Aku ingin mendidik Fikri dengan tepat! Lembut namun tegas. Aku punya harapan, Fikri menemukan percaya dirinya kembali sebagai anak laki-laki. Dan hari ini, adalah penentuannya! <i>Shock therapy</i>? Tegakah aku melakukannya kepada Fikri? Tepatkah cara itu untuk membuat Fikri mandiri?<br />
<br />
Dari jauh aku lihat kepala sekolah memberi isyarat. Hal ini tidak perlu dijelaskan lagi olehnya. Aku harus meninggalkan Fikri bagaimanapun caranya! Bismillah.. “Fikri, silahkan berbaris, Nak.” Aku memandang Fikri yang sudah tenang dalam pelukku.<br />
<br />
“Tapi bunda tidak akan meninggalkanku? Bunda janji?” Reflek kepalaku mengangguk. “Yah bunda janji, tidak akan meninggalkanmu…,kecuali setelah kamu berada di kelas.” Aku berbisik melanjutkan kalimat terakhir itu, agar Fikri tidak mendengarnya. Aku telah menyusun rencana. Begitu Fikri telah masuk ke kelasnya, jika biasanya aku di ruang tunggu, hari ini aku akan pulang! Aku sengaja membawa dZikra, adiknya Fikri, agar aku punya alasan kuat untuk meninggalkan Fikri.<br />
<br />
Detik-detik yang mendebarkan itu semakin dekat. Aku menahan nafas saat Fikri memasuki pintu kelasnya. Sekilas dia menatap ke arahku sambil mengacungkan jempolnya, sebagai isyarat tanda terimakasihnya aku masih berada di ruang tunggu sekolah. Beberapa saat, ketika aku anggap dia sudah larut dengan suasana kelasnya, diam-diam aku pamit dengan kepala sekolah. Aku akhirnya pasrah, apapun yang akan terjadi nanti, mudah-mudahan itu adalah jalan terbaik bagi Fikri untuk menemukan kemandirian dan percaya dirinya.<br />
<br />
Di parkiran sekolah, aku menyalakan mesin mobil dengan sedikit gemetar. Jantungku terasa berdebar lebih kencang dari biasa dan mataku berkali-kali siaga menoleh ke arah gerbang sekolah. Bismillah, aku memasukkan gigi dan maju perlahan. Aku sangat terkejut, begitu tiba di gerbang sekolah, ternyata Fikri sudah menangis di ruang tunggu. Wajahnya keliatan sangat tertekan, sedih, dan…sungguh, aku tidak dapat menceritakan secara tepat apa yang dia rasakan. Ingin rasanya aku balik ke parkiran dan menenangkan Fikri. Tapi, kesepakatan antara aku, kepala sekolah dan Fikri, harus aku tunaikan. Mudah-mudahan ini langkah terbaik bersama menuju kemandirian Fikri. <br />
<br />
Aku berusaha berwajah tenang. Aku turunkan jendela di samping kemudi dan perlahan aku menginjak rem. Kemudian aku berteriak kepada Fikri. “Nak, kita coba ya. Kamu pasti berhasil! Kamu pasti menang!” Ujarku dari belakang kemudi. <br />
<br />
Di luar dugaanku, Fikri berlari menuju mobilku yang mulai bergerak. Sejenak aku panik. Apa yang harus aku lakukan. Apakah berhenti atau maju. Aku menoleh kepada Fikri yang semakin mendekat. Suara tangisnya yang tertekan semakin jelas terdengar. Batinku semakin berperang! Apakah aku harus mengalah?<br />
<br />
Yang terjadi akhirnya aku menekan pedal gas semakin dalam. Aku perlahan meninggalkan gerbang sekolah dan menjauh dari Fikri. Dari kaca spion dapat kulihat, Fikri menangis dan berteriak memanggil-manggilku berlari mengejar mobil yang bergerak dengan kecapatan 20 km/jam. Ya Tuhan!! Air mataku mengalir deras. “Ayo Fikri! Ini bagian dari perjuangan kita! Ini pasti berhasi! InsyaAllah!! Kamu merasakan ini tidak nyaman bukan? Bunda pun merasa demikian, Nak. Tapi, kita harus mencoba segala cara! Demi kemandirianmu!! Air mataku semakin deras. Bayangan Fikri di belakangku bertambah samar. Dia semakin jauh tertinggal dari mobilku yang terus melaju. Akhirnya, aku tak sanggup! Aku memutar kemudi kembali menuju sekolah. Dzikra di sampingku ikut menangis dan protes terhadap apa yang baru saja aku lakukan terhadap kakaknya.<br />
<br />
Di ruang tunggu, Fikri duduk sesenggukkan ditemani guru piket. Fikri berlari memelukku begitu aku memasuki gerbang sekolah. “Bunda, jangan pergi! Jangan tinggalkan, Fikri!” Ujarnya memelas. Sesenggukannya semakin hebat ketika kupeluk dan dia kembali menangis. Ya Allah, aku membelai kepalanya. Bermacam perasaan bergejolak dalam hatiku. Aku merasa terharu, sedih, kesal, marah! Ahh! Ini gagal! Ini harus sampai kapan? Aku ingin berteriak sekuatnya melampiaskan sesuatu yang sangat menyesakkan.<br />
<br />
Akhirnya hari ini, belumlah menjadi hari keberhasilan Fikri. Setengah hari, aku terpaksa kembali menemani Fikri di ruang tunggu. Kepala sekolah dan wali kelas Fikri untungnya sangat memahami situasi ini dan terus memberi dukungan. “Kita harus terus berusaha bunda, ini hanya menunggu waktu! Waktunya akan segera tiba! Saat Fikri sanggup jauh dari bunda!” Oh!! Aku seperti mendapat segelas air saat dahaga di gurun pasir. Aku mendapat dukungan yang sangat aku butuhkan. Rasanya mau saja aku mengembalikan Fikri kembali ke Taman Kanak-kanak, karena memang umurnya belum cukup. Tapi? Apakah itu tidak akan semakin memperburuk konsep dirinya jika ia berfikir kenapa ia harus kembali ke sekolah yang tingkatnya lebih rendah? Allah!!! Betapa rumitnya aku.<br />
<br />
Tiga bulan sudah berlalu. Akhirnya suatu hari Fikri memberi usul. “Bunda, besok bagaimana kalau kita coba lagi. Bunda tinggalkan aku tapi tidak usah bilang sama aku. Aku tentu merasa masih ada bunda menunggu di luar. Siapa tahu dengan begitu aku berhasil mengalahkan rasa takutku.” Usul Fikri polos. Aku memeluknya terharu. Allah, ternyata dia pun sibuk memikirkan cara bagaimana seharusnya sehingga dia dapat mandiri di sekolahnya. Dan komentar itu terlontar pada saat yang sangat tepat! Saat aku sudah kehilangan semangat, saat aku sudah merasa putus asa, merasa kesal, merasa capek!<br />
<br />
Esoknya, kami melakukan apa yang diusulkan Fikri. Setelah Fikri masuk kelas, aku menunggu beberapa waktu. Setelah itu, aku meninggalkan ruang tunggu menuju parkiran. Di parkiran aku kembali menunggu sejenak, siapa tahu kejadian kemarin terulang kembali. Namun gerbang sekolah terlihat sepi dan tenang. Aku menjalankan mobil perlahan. Aku melewati gerbang dengan sedikit berdebar, dan…Alhamdulillah! Sejauh ini masih sesuai rencana. <br />
<br />
Akhirnya aku telah tiba di rumah. Di rumah, aku menunggu dengan resah. Setiap perpindahan detik membuat jantungku berdebar. Menunggu-nunggu apakah ada khabar dari sekolah. Rasanya waktu bergerak terlalu lama. Hingga tiba waktunya menjelang Fikri pulang! <br />
“Kriiing,” tiba-tiba telepon rumahku berdering. Di seberang sana, suara yang sangat ku kenal.<br />
“Bunda, ini Fikri. Fikri tadi hampir nangis lo bunda waktu jam istirahat, tapi Fikri tahan. Fikri bayangkan, Bunda berada dekat, ada di ruang tunggu. Akhirnya, setelah jam istirahat, Fikri masuk kelas lagi, Fikri sudah tidak ingat lagi harus ada bunda. Fikri berhasil bunda… Hebat kan bunda…Fikri telah menemukan cara…” bla bla bla….Aku sudah tidak jelas mendengar perkataan sulungku yang lugu. Allah!! Akhirnya. Air mataku berurai, aku sangat bersyukur dan terharu. Aku tak tahu harus mealakukan apa, hanya dapat bersujud, mengagungkan kebesaran-Nya. Mengagungkan-Mu<b>, Allah</b>!<br />
<br />
<i>Jika anak dibesarkan dengan dipahami, dia akan belajar peduli dan mengerti dengan perasaan orang lain. Jika anak dibesarkan dengan paksaan, dia akan belajar untuk memaksa orang lain untuk tunduk pada kehendaknya . Wallahua’lam….</i><br />
<br />
Buat guru-guru Bina Insan Mulia (Mr. Hakim, Ms. Ani, Mr. Hendriko dan Ms. Farah). Salut! Dan terimakasih banyak, hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan...</div>tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5899065502872948861.post-13840456897246236762010-06-01T22:14:00.001-07:002012-05-11T10:10:38.959-07:00Seorang Anak dengan Mata Berkaca-kaca<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Seorang Anak dengan Mata Berkaca-kaca <br />
Suatu sore menjelang senja, aku menunggu suamiku di sebuah halte yang panjang dan benderang. Saat itu sudah mulai gelap. Sinar mentari telah berganti pekat. Aku mengamati sekelilingku. Di bawah halte tempatku menunggu adalah stasiun kereta, tempat manusia berlalu lalang, pergi dan pulang dari jantung kota, Jakarta. Di hadapanku juga ramai dengan kendaraan yang lalu lalang, pergi dan pulang ke tujuan masing-masing. Aku mengambil satu titik dari sepanjang halte itu. Aku memilih tempat duduk yang agak sepi, dan memastikan bahwa tempat itu aman!!!<br />
<br />
Untuk membuang jenuh, aku berusaha menikmati saja pemandangan di hadapanku. Arus kendaraan yang ribut dengan asapnya yang mengepul. Melihatnya, paru-paruku terasa sesak untuk bernafas!!! Sesekali terasa halte bergetar ketika sebuah bis kota yang sarat penumpang dan sudah miring ke kiri, lewat dengan kecepatan tinggi. Hmhh....aku bergidik saat sepintas aku membayangkan bagaimana jika halte yang berada di atas jalan layang ini, tiba-tiba amblas karena bebannya yang begitu berat. Ufh!!!dadaku semakin sesak.<br />
<br />
Tiba-tiba seorang anak sepuluh tahun, menegurku dan serta merta mengalihkan perhatianku dari hiruk pikuknya pemandangan kota.<br />
"Lagi menunggu siapa?" tanyanya santai.<br />
Biasanya, aku akan merespon pertanyaan seorang anak dengan sangat normatif. Kamu bertanya kepada siapa, Nak? Nak, kalau bertanya pakai alamat ya, supaya sopan. Dan kalimat himbauan normatif lain yang sering aku gunakan dalam menghadapi anak-anak. Tapi kali ini benar-benar berbeda. Anak itu, Arif, dengan santai duduk di sampingku. Sebuah botol air mineral kosong dimain-mainkan di tangannya.<br />
"Kamu habis ngamen ya?" Tanyaku menanggapi sapaannya.<br />
"Tidak." Kepalanya menggeleng. "Aku nggak kerja, lagi lapar," lanjutnya.<br />
"Ohh...kamu mau minta uang?" Tanyaku menebak arah pembicaraanya..<br />
"Tidak! Aku bukan peminta-minta." Kepala kecilnya kembali menggeleng! Aku sedikit kaget karena tebakanku meleset.<br />
"Kamu tinggal dimana?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.<br />
"Disana!" Dia menunjuk ke suatu tempat ke arah stasiun di bawahku.<br />
"Aku tinggal di kolong." Lanjutnya menjawab kebingunganku. <br />
"Tuh di bawah tangga menuju stasiun," jelasnya lagi. Aku melongo. Mataku reflek memandang ke arah tunjukkan Arif. Suatu rongga di bawah tangga yang bidangnya mirip segitiga. Ada sedikit cerukan di sana, sekitar setengah meter yang memungkinkan untuk berlindung dari panas dan hujan. Aku menatap Arif dengan berjuta tanya.<br />
“Ya, kami tinggal berempat di sana. Temanku yang tiga lagi, ada di bawah,” Arif menunjuk ke arah stasiun. “Mereka sedang meminta-minta! Kalau aku? Aku tidak suka meminta-minta,” tegasnya lagi. Aku mengagumi prinsip anak kecil ini. Di tengah kesulitannya, dia masih memiliki martabat dan harga diri! Luar biasa!<br />
"Hmhh...orang tuamu di mana?"<br />
"Di kampung!" jawabnya ringan. Aku semakin melongo.<br />
"Kamu tidak kangen sama Ibu?" Tanyaku spontan.<br />
Wajah mungil itu mengangguk pelan, sepertinya ragu untuk menunjukkan apa yang tengah dia rasakan. Pertama kali aku melihat mata kecil itu berkaca - kaca.<br />
"Aku kangen Ibu," katanya lirih. Matanya terlihat semakin luka. <br />
"Waktu itu, rumah kami kebakaran. Aku sedang bersekolah. Ibuku sangat panik, sehingga langsung membeli tiket kereta untuk pulang kampung ke Semarang. Kata tetanggaku, Ibu sudah menungguku hingga jam dua siang, jamku biasanya pulang sekolah. Ternyata hari itu aku latihan bola dan Pramuka di sekolah, sehingga aku sampai di rumah sudah pukul tujuh malam. Aku mendapati rumah yang rata dengan tanah, dan keluargaku rupanya sudah meninggalkanku." Urainya memburu, lirih dan terdengar pahit.<br />
<br />
Aku mendengar cerita Arif dengan seksama. Aku menatap matanya dan berusaha menyelami kejujuran dari ceritanya. Dan mata itu? Ya Tuhan! Rasanya aku ingin menangis. Mata Arif berkaca-kaca makin banyak, dan rahangnya bergerak – gerak, berusaha menahan kesedihan. Aku teringat anakku sendiri yang sebaya dengan Arif. Rasa syukurku semakin kuat, karena Alhamdulillah, kehidupan anak-anakku jauh lebih beruntung dibanding Arif.<br />
<br />
Reflek tanganku mencari-cari uang kertas untuk kuserahkan pada Arif. Aku seperti disentakkan bahwa Arif tadi mengatakan dia lapar. "Ini, untuk kamu beli makanan," ujarku sembari menyerahkan lima ribu rupiah. "Terima kasih, bu," akhirnya aku dengar juga dia berkata sopan.<br />
<br />
"Arif, jika ada yang mau menyekolahkanmu, apakah kamu masih mau bersekolah?" tanyaku. Kepala itu menggeleng mantap. <br />
"Aku tak mau!" Jawabnya pasti. <br />
"Raportku sudah hangus terbakar, aku sudah lupa pelajaran. Lagian, aku sudah bekerja kok." Jawabnya bangga.<br />
"O,ya? Kamu kerja apa?"<br />
"Narik!" Jawabnya ringan. "Narik bis Mayasari Bakti P6 jurusan Kampung Rambutan - Grogol." <br />
Aku semakin heran. Ah! Anak sekecil Arif, apa bisa narik bis sebesar P6?<br />
"Kamu jadi kenek (kondektur)?" Tegasku, tiba-tiba sadar akan 'profesinya’."<br />
"Ya. Lumayan sehari dapat lima puluh ribu rupiah. Dari jam dua pagi hingga jam dua siang." Ujarnya pahit bercampur bangga. “Setelah tiga hari,aku boleh libur tiga hari,” lanjutnya lagi. <br />
"Kamu hebat!" Pujiku. "Kalau ada yang mau mengangkatmu sebagai anak, kamu mau?" Tanyaku.<br />
Kepala Arif mengangguk mantap. Mata polos itu kembali berkaca memandangku. Wajah itu, begitu sarat pengharapan, akan sebuah masa depan yang lebih menjanjikan. Aku menelan ludah, air mataku mulai terasa tercekat di kerongkongan.<br />
“Aku sedang menunggu Ibu untuk menjemputku.” Lirihnya bagai meyakinkan dirinya sendiri. “Ibu sekarang dengan ayah tiri. Ayahku sudah meninggal,” kenangnya semakin pahit. “Ayahku, ditembak polisi!” Suaranya bertambah lirih berbisik. Aku terperanjat!!<br />
“Apa? Bapakmu penjahat, Nak?” Tanyaku spontan. Kepala mungil itu menggeleng kuat. “Ayahku,” Arif menarik nafas, menghalau galau di hatinya. “Ayahku narkoba,” jawabnya sedih. Arif menunduk dalam, seolah menyembunyikan berjuta kesedihan yang menumpuk di wajahnya. <br />
Aku mengamati Arif semakin cermat. Begitu getir kehidupan ini telah dilalui oleh anak sekecil Arif.<br />
"Saya photo kamu ya? Agar saya bisa tayangkan di TV, bahwa kamu sedang menunggu ibu. Mudah-mudahan Ibumu akan segera datang menjemputmu?" Aku mengeluarkan HP ku. <br />
Arif menutup seluruh wajahnya. "Aku tidak mau!" Tiba-tiba saja dia beranjak untuk selanjutnya berlalu dari hadapanku, begitu saja. Tanpa sepatah katapun, tanpa permisi. <br />
Aku jadi berpikir - pikir tentang Arif. Seorang anak yang masih sangat kecil, bertahan sendiri di ibu kota yang belantara. Bagaimana caranya ya, aku bisa membantunya? Apakah Arif harus aku bawa ke Komnas perlindungan anak, atau aku bawa ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak? Ahh!!!!<br />
Saat aku sedang memikirkan nasib Arif, wajah lugunya muncul lagi di hadapanku. Kali ini dia membawa kantong plastik berisi minuman. Aku tersentak dari cita – cita, hayalan dan lamunanku yang indah.<br />
"Katanya kamu lapar, kenapa tidak membeli makanan?" tegurku menyaksikan bawaannya.<br />
"Ini, minumlah." Ujarnya menyodorkan plastik berisi minuman itu kepadaku, bagai tuan rumah yang baik, menyuguhi minuman pada tamunya. Saat itu, spontan aku merasakan keharuan dan simpati. Anak ‘jalanan’ seperti Arif, yang hidup serba keterbatasan dan tidak bertumbuh bersama keluarga, ternyata memiliki kepekaan, sopan santun dan perhatian dalam bentuk lain di luar dugaanku.<br />
“Terimakasih Arif. Kamu saja yang minum ya,” dengan halus aku menolak pemberiannya. Arif menarik tangannya malu-malu, selanjutnya menyeruput minuman yang tadinya disuguhkan untukku.<br />
<br />
Ah, senja telah semakin temaram. Tanpa terasa, aku sudah menunggu suamiku di halte ini selama satu jam tanpa merasa bosan. Karena Arif telah berbagi banyak hal untukku. Betapa hidup ini bagitu keras! Tetapi Arif, punya semangat kuat dan prinsip hidup yang hebat dengan selalu bekerja keras tanpa meminta – minta. Arif, kamu berhasil Nak, melalui hari – hari beratmu dengan sangat baik! Ah, andai saja kamu hidup di bawah asuhan orang tua, pasti kualitas hidupmu, akan jauh lebih baik.</div>tata_martinishttp://www.blogger.com/profile/01764229310740416350noreply@blogger.com2