RSS Feed

Seorang Anak dengan Mata Berkaca-kaca

Posted by tata_martinis Label:

Seorang Anak dengan Mata Berkaca-kaca
Suatu sore menjelang senja, aku menunggu suamiku di sebuah halte yang panjang dan benderang. Saat itu sudah mulai gelap. Sinar mentari telah berganti pekat. Aku mengamati sekelilingku. Di bawah halte tempatku menunggu adalah stasiun kereta, tempat manusia berlalu lalang, pergi dan pulang dari jantung kota, Jakarta. Di hadapanku juga ramai dengan kendaraan yang lalu lalang, pergi dan pulang ke tujuan masing-masing. Aku mengambil satu titik dari sepanjang halte itu. Aku memilih tempat duduk yang agak sepi, dan memastikan bahwa tempat itu aman!!!

Untuk membuang jenuh, aku berusaha menikmati saja pemandangan di hadapanku. Arus kendaraan yang ribut dengan asapnya yang mengepul. Melihatnya, paru-paruku terasa sesak untuk bernafas!!! Sesekali terasa halte bergetar ketika sebuah bis kota yang sarat penumpang dan sudah miring ke kiri, lewat dengan kecepatan tinggi. Hmhh....aku bergidik saat sepintas aku membayangkan bagaimana jika halte yang berada di atas jalan layang ini, tiba-tiba amblas karena bebannya yang begitu berat. Ufh!!!dadaku semakin sesak.

Tiba-tiba seorang anak sepuluh tahun, menegurku dan serta merta mengalihkan perhatianku dari hiruk pikuknya pemandangan kota.
"Lagi menunggu siapa?" tanyanya santai.
Biasanya, aku akan merespon pertanyaan seorang anak dengan sangat normatif. Kamu bertanya kepada siapa, Nak? Nak, kalau bertanya pakai alamat ya, supaya sopan. Dan kalimat himbauan normatif lain yang sering aku gunakan dalam menghadapi anak-anak. Tapi kali ini benar-benar berbeda. Anak itu, Arif, dengan santai duduk di sampingku. Sebuah botol air mineral kosong dimain-mainkan di tangannya.
"Kamu habis ngamen ya?" Tanyaku menanggapi sapaannya.
"Tidak." Kepalanya menggeleng. "Aku nggak kerja, lagi lapar," lanjutnya.
"Ohh...kamu mau minta uang?" Tanyaku menebak arah pembicaraanya..
"Tidak! Aku bukan peminta-minta." Kepala kecilnya kembali menggeleng! Aku sedikit kaget karena tebakanku meleset.
"Kamu tinggal dimana?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Disana!" Dia menunjuk ke suatu tempat ke arah stasiun di bawahku.
"Aku tinggal di kolong." Lanjutnya menjawab kebingunganku.
"Tuh di bawah tangga menuju stasiun," jelasnya lagi. Aku melongo. Mataku reflek memandang ke arah tunjukkan Arif. Suatu rongga di bawah tangga yang bidangnya mirip segitiga. Ada sedikit cerukan di sana, sekitar setengah meter yang memungkinkan untuk berlindung dari panas dan hujan. Aku menatap Arif dengan berjuta tanya.
“Ya, kami tinggal berempat di sana. Temanku yang tiga lagi, ada di bawah,” Arif menunjuk ke arah stasiun. “Mereka sedang meminta-minta! Kalau aku? Aku tidak suka meminta-minta,” tegasnya lagi. Aku mengagumi prinsip anak kecil ini. Di tengah kesulitannya, dia masih memiliki martabat dan harga diri! Luar biasa!
"Hmhh...orang tuamu di mana?"
"Di kampung!" jawabnya ringan. Aku semakin melongo.
"Kamu tidak kangen sama Ibu?" Tanyaku spontan.
Wajah mungil itu mengangguk pelan, sepertinya ragu untuk menunjukkan apa yang tengah dia rasakan. Pertama kali aku melihat mata kecil itu berkaca - kaca.
"Aku kangen Ibu," katanya lirih. Matanya terlihat semakin luka.
"Waktu itu, rumah kami kebakaran. Aku sedang bersekolah. Ibuku sangat panik, sehingga langsung membeli tiket kereta untuk pulang kampung ke Semarang. Kata tetanggaku, Ibu sudah menungguku hingga jam dua siang, jamku biasanya pulang sekolah. Ternyata hari itu aku latihan bola dan Pramuka di sekolah, sehingga aku sampai di rumah sudah pukul tujuh malam. Aku mendapati rumah yang rata dengan tanah, dan keluargaku rupanya sudah meninggalkanku." Urainya memburu, lirih dan terdengar pahit.

Aku mendengar cerita Arif dengan seksama. Aku menatap matanya dan berusaha menyelami kejujuran dari ceritanya. Dan mata itu? Ya Tuhan! Rasanya aku ingin menangis. Mata Arif berkaca-kaca makin banyak, dan rahangnya bergerak – gerak, berusaha menahan kesedihan. Aku teringat anakku sendiri yang sebaya dengan Arif. Rasa syukurku semakin kuat, karena Alhamdulillah, kehidupan anak-anakku jauh lebih beruntung dibanding Arif.

Reflek tanganku mencari-cari uang kertas untuk kuserahkan pada Arif. Aku seperti disentakkan bahwa Arif tadi mengatakan dia lapar. "Ini, untuk kamu beli makanan," ujarku sembari menyerahkan lima ribu rupiah. "Terima kasih, bu," akhirnya aku dengar juga dia berkata sopan.

"Arif, jika ada yang mau menyekolahkanmu, apakah kamu masih mau bersekolah?" tanyaku. Kepala itu menggeleng mantap.
"Aku tak mau!" Jawabnya pasti.
"Raportku sudah hangus terbakar, aku sudah lupa pelajaran. Lagian, aku sudah bekerja kok." Jawabnya bangga.
"O,ya? Kamu kerja apa?"
"Narik!" Jawabnya ringan. "Narik bis Mayasari Bakti P6 jurusan Kampung Rambutan - Grogol."
Aku semakin heran. Ah! Anak sekecil Arif, apa bisa narik bis sebesar P6?
"Kamu jadi kenek (kondektur)?" Tegasku, tiba-tiba sadar akan 'profesinya’."
"Ya. Lumayan sehari dapat lima puluh ribu rupiah. Dari jam dua pagi hingga jam dua siang." Ujarnya pahit bercampur bangga. “Setelah tiga hari,aku boleh libur tiga hari,” lanjutnya lagi.
"Kamu hebat!" Pujiku. "Kalau ada yang mau mengangkatmu sebagai anak, kamu mau?" Tanyaku.
Kepala Arif mengangguk mantap. Mata polos itu kembali berkaca memandangku. Wajah itu, begitu sarat pengharapan, akan sebuah masa depan yang lebih menjanjikan. Aku menelan ludah, air mataku mulai terasa tercekat di kerongkongan.
“Aku sedang menunggu Ibu untuk menjemputku.” Lirihnya bagai meyakinkan dirinya sendiri. “Ibu sekarang dengan ayah tiri. Ayahku sudah meninggal,” kenangnya semakin pahit. “Ayahku, ditembak polisi!” Suaranya bertambah lirih berbisik. Aku terperanjat!!
“Apa? Bapakmu penjahat, Nak?” Tanyaku spontan. Kepala mungil itu menggeleng kuat. “Ayahku,” Arif menarik nafas, menghalau galau di hatinya. “Ayahku narkoba,” jawabnya sedih. Arif menunduk dalam, seolah menyembunyikan berjuta kesedihan yang menumpuk di wajahnya.
Aku mengamati Arif semakin cermat. Begitu getir kehidupan ini telah dilalui oleh anak sekecil Arif.
"Saya photo kamu ya? Agar saya bisa tayangkan di TV, bahwa kamu sedang menunggu ibu. Mudah-mudahan Ibumu akan segera datang menjemputmu?" Aku mengeluarkan HP ku.
Arif menutup seluruh wajahnya. "Aku tidak mau!" Tiba-tiba saja dia beranjak untuk selanjutnya berlalu dari hadapanku, begitu saja. Tanpa sepatah katapun, tanpa permisi.
Aku jadi berpikir - pikir tentang Arif. Seorang anak yang masih sangat kecil, bertahan sendiri di ibu kota yang belantara. Bagaimana caranya ya, aku bisa membantunya? Apakah Arif harus aku bawa ke Komnas perlindungan anak, atau aku bawa ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak? Ahh!!!!
Saat aku sedang memikirkan nasib Arif, wajah lugunya muncul lagi di hadapanku. Kali ini dia membawa kantong plastik berisi minuman. Aku tersentak dari cita – cita, hayalan dan lamunanku yang indah.
"Katanya kamu lapar, kenapa tidak membeli makanan?" tegurku menyaksikan bawaannya.
"Ini, minumlah." Ujarnya menyodorkan plastik berisi minuman itu kepadaku, bagai tuan rumah yang baik, menyuguhi minuman pada tamunya. Saat itu, spontan aku merasakan keharuan dan simpati. Anak ‘jalanan’ seperti Arif, yang hidup serba keterbatasan dan tidak bertumbuh bersama keluarga, ternyata memiliki kepekaan, sopan santun dan perhatian dalam bentuk lain di luar dugaanku.
“Terimakasih Arif. Kamu saja yang minum ya,” dengan halus aku menolak pemberiannya. Arif menarik tangannya malu-malu, selanjutnya menyeruput minuman yang tadinya disuguhkan untukku.

Ah, senja telah semakin temaram. Tanpa terasa, aku sudah menunggu suamiku di halte ini selama satu jam tanpa merasa bosan. Karena Arif telah berbagi banyak hal untukku. Betapa hidup ini bagitu keras! Tetapi Arif, punya semangat kuat dan prinsip hidup yang hebat dengan selalu bekerja keras tanpa meminta – minta. Arif, kamu berhasil Nak, melalui hari – hari beratmu dengan sangat baik! Ah, andai saja kamu hidup di bawah asuhan orang tua, pasti kualitas hidupmu, akan jauh lebih baik.

2 komentar:

  1. tata_martinis

    Mari selamatkan anak Indonesia. Apa yang bisa kita lakukan untuk anak-anak seperti Arif?

  1. Rumah Pintar Rasyidah

    ternyata tata pintar juga menulis cerita ya.... buat buku dong, biar bisa tambah koleksi rumpin rasyidah

Posting Komentar