RSS Feed
Posted by tata_martinis

Malaikat Kecil yang Terluka


Pagi itu cerah namun tidak begitu dengan wajah mungilnya. Mata bening khas anak2, yang seharusnya menyimpan semangat, gairah dan ceria, justru menceritakan kegelisahan sangat dalam. Kehangatan pagipun tak kunjung menenangkan perasaan bagi seorang anak yg baru saja melepas statusnya sebagai murid TK itu. Kini dengan banyak penyesuaian yang tidak kunjung ia mengerti, malaikat kecil itu terus berjuang mendamaikan hari2 pertama di sekolahnya yg baru- SD

Mendengar sedu sedannya yg akhirnya menghadirkan jerit tangis, membuat hati saya bertambah miris. Seorang Ibu Guru kelihatan membujuknya dengan sangat serius, namun kalah serius dari kecamuk perasan yg membuncah di dalam dada kecilnya. Mata itu makin menyimpan banyak tanda tanya, melihat Ibunya yang terus berteriak dan tampak hanya berusaha memotivasi dari gerbang sekolah yg jaraknya bertambah jauh dari langkah kakinya yang mengayun terbata, terus dipaksakan menuju kelas di lantai 2.

Hati kecil saya mendadak protes. Saat itu ingin sekali rasanya saya memeluk tubuh mungilnya, menenangkannya, mendiskusikan perasaannya, menghiburnya dan memberikan pengertian atas berbagai kegelisahan dan pertanyaannya yg tak kunjung terjawab. Tuhan, sungguh saya menyaksikan malaikat kecil itu sangat terluka.

Saya pun reflek mendekati ibunya. Ibu itu bercerita prihatin. Bahwà kemarin sempat mata sang anak memar. Mengapa memar? Karena kaos kaki? Lo? Iya, kaos kaki yg ternyata dpakai oleh anak itu untuk menyeka  air mata kesedihannya.Huk!*nangiiis*

Selapis bening di mata saya jatuh. Ingat saat 8 tahun lalu kejadian persis ini pun saya alami, mendampingi sulung saya melewati perjuangan kami yg tak terlukiskan beratnya. Sebuah kegelisahan yg sulit dikatakan, ketakutan yg tak beralasan dan kesedihan yang tak mudah diceritakan dari anak2 saat menghadapi sekolah baru, teman baru, guru baru dan berbagai situasi baru. Tapi hebatnya ini hanya dialami oleh beberapa anak yg memang punya hati teramat lembut dan sangat sensitif.

Tapi apakah memang begini cara terbaik kita saat mengatasi anak yg tengah bergulat dengan rasa asingnya? Merasa cukup  dengan sekadar mengatakan:

"kamu sudah besar, jadi harus begini begitu."
"semua akan baik - baik saja."

dan beribu kalimat bujukan lainnya, tanpa sedikitpun merasa perlu menularkan kedamaian melalui dekapan dan pelukan, pandangan mata yg fokus memberi perhatian, suara yg lembut  menyejukkan atau memberi sedikit jeda waktu untuk dia bisa memaknai kegelisahnnya dan mengerti dengan apa yg dia rasakan dan pertanyakan?

Ah entahlah. Bagi saya fenomena ini akhirnya bagai sebuah kesempatan untuk  orang tua terus belajar dan mengajarkan. Belajar untuk lebih peduli dengan perasaan anak, daripada sibuk memaksakan diri sesuai dengan apa yang orang tua mau.

Bila anak merasa bahwa orang tua memang mementingkan perasaannya, maka anak juga belajar untuk mementingkan perasaan orang lain. Bila anak merasa orang tua peduli dengan apa yang tengah dirasakannya, maka anak pun akan belajar untuk peduli dengan perasaan orang lain.  Bukankah ini yang dinamakan berlatih empati sejak kecil? Dengan didengarkan perasaannya maka anak akan merasa penting. Ini menjadi sebuah jalan untuk menemukan ketenangan dan semangat belajarnya kembali.

Pada saat itulah terjadi proses pembelajaran yg sesungguhnya dalam rangka mengasah rasa periksa dan menajamkan logika. Saat itu, dimana anak benar2dipentingkan dan diberikan kesempatan untuk didengarkan atas apa yang sesungguhnya dia rasakan!

Ya begitulah,
Kehidupan malaikat kecil di sekeliling kita!
Hari2 nya meliputi antara
Rumah dan sekolah
Sekolah dan rumah
Sehingga dengan demikian,
orang tua harus mampu berperan juga sebagai guru.
guru juga mesti mampu berperan menjadi orang tua.

Sebuah catatan kecil,
Untuk mimpi besar anak bangsa!
5 Agustus 2015
Baca Selanjutnya........

Memahami Adalah Caraku Mencintai

Posted by tata_martinis Label:

Memahami Adalah Caraku Mencintai
Marnarita Yarsi

Fikri, sulungku belum enam tahun ketika aku daftarkan ia ke sebuah Sekolah Dasar.  Keputusan itu membuatku di hari-hari selanjutnya selalu berdebar, apakah keputusan ini adalah keputusan yang tepat!  
Dalam sebuah forum ilmiah, aku mendapatkan informasi  dari seorang dokter ahli neuroscience.  “Ibu-ibu seharusnya mengkampanyekan agar anak-anak Indonesia masuk Sekolah Dasar minimal pada usia tujuh tahun.  Pada usia tujuh tahun itulah sebenarnya saraf otak anak telah benar-benar  siap menerima beratnya beban kurikulum Sekolah Dasar”.  Informasi ini setelah Fikri-ku terdaftar sebagai murid SD! Ini betul-betul menghentak nuraniku sebagai ibu.  Rabbi, betapa teganya aku.  Kesanggupan seorang anak memasuki Sekolah Dasar ternyata di tujuh tahun! Bukan enam tahun!  Apalagi kurang dari enam tahun!!
Hari pertama di sekolah  dasar pertama.  Aku ikut mengantar Fikri dengan maksud menambahkan semangat!  Masih pagi sekali ketika kami tiba. Namun di pintu kelas telah ramai dengan orang tua murid. Aku bertanya-tanya, ada apa rupanya, sekumpulan ibu itu memenuhi pintu kelas.  Aku dan Fikri mencari-cari tempat yang agak lega tak jauh dari sana, mengamati sekeliling sebagai pengenalan awal lingkungan sekolah.  Aku melirik Fikri, wajahnya nyaris tanpa ekspresi, sangat datar!
Tak lama setelah kami duduk diam, pintu kelas yang tadinya ramai dengan orang tua murid, tiba-tiba menimbulkan bunyi gaduh.  Reflek kami berdua menoleh dan…..!!! Orang tua yang tadinya berada di depan pintu, berebut masuk mencarikan tempat duduk untuk anak-anak mereka.  Aku dan Fikri saling berpandangan.  Wajah Fikri masih datar, nanar!! Aku menduga bahwa dia tidak suka dengan situasinya.
Tapi akhirnya dia tersenyum. “Ayuk Mi, pintu kelasnya sudah dibuka,” ucapnya sambil melangkah menuju ruang kelasnya  yang bingar.  Hmh….Aku masih gelagapan, terpesona dengan ‘ambisi’ ibu-ibu itu, yang terlihat lebih ngotot dari pada anak-anaknya. Dalam hati, aku bersyukur, Fikri tidak terganggu karenanyanya.  Hebat! Aku saja yang dewasa, merasa cukup terganggu dengan suasana kurang nyaman ini
Dari luar kelas aku mengamati Fikri yang sibuk mencari tempat duduk yang nyaman untuknya.  Aku menahan  diri untuk tidak ikut campur! Aku ingin Fikri mandiri, menentukan sendiri apa yang terbaik menurut pilihannya.  Akhirnya Fikri memutuskan untuk memilih tempat duduk paling belakang. Memang, dia kalah bersaing dengan ibu-ibu temannya yang berebut memilih kursi yang paling depan dan strategis.  Sekilas dia menoleh ke arahku dan tersenyum samar. “Di sini, Mi,” isyaratnya memohon restu.  Aku mengacungkan jempol yang sedikit bergetar. Kepalaku mengangguk menandakan persetujuan.  Aku mulai tidak yakin dengan kualitas sekolah ini, dimana Fikri sudah aku daftarkan.
            Selanjutnya, dari cerita Fikri, keraguanku terhadap sekolah itu semakin kuat saat suatu kali aku berbincang dengan Fikri. Umi, memangnya Fikri pintar yah?” Komentar Fikri saat suatu ketika aku memanggilnya dengan sapaan “Hai pintar Umi..”  Aku memandang Fikri prihatin.  Mengapa konsep diri Fikri menjadi rendah? Padahal selama ini, dia cukup percaya diri meskipun karakternya adalah seorang anak yang pemalu.  
Aku mulai menggali informasi dengan banyak mengajak Fikri berdiskusiHingga suatu Senin aku datang ke sekolahnya. Amanat Kepala Sekolah di upacara pagi itu, membuatku   ‘patah hati.  “Jadi, anak-anak yang pintar di sekolah ini, akan dipisahkan dari anak-anak yang bodoh..” Aghhh!!! Seluruh tubuhku terasa mendidih. Rasanya aku ingin marah!  Mengapa paradigma ini masih saja ada.  Anak-anak awal sekolah dasar yang sudah lancar membaca, menulis dan berhitung disebut sebagai pintar dan dipisahkan dari teman-teman mereka yang belum lancar.  Malangnya, anak-anak yang belum lancar – termasuk Fikri - disebut sebagai bodoh! Begitu tega!!! Padahal, semua anak adalah luar biasa dan memiliki keunggulan tertentu yang berbeda antara satu dan lainnya.
Akhirnya hanya bertahan tiga bulan Fikri bersekolah di sana.  Setelah itu, aku dan Fikri memutuskan untuk pindah ke sekolah yang menurut kami lebih sesuai.  Sekolah yang mengembangkan proses pembelajaran berdasarkan prinsip bahwa setiap anak adalah manusia yang unggul dan berpotensi.  Semua anak adalah pintar. Mereka akan distimulasi dan mendapatkan cara pembelajaran berbeda antara satu dan lainnya.  Segala sesuatunya dikondisikan agar kecerdasan anak dapat berkembang optimal.  Bismillah, kami akhirnya mengambil suatu keputusan yang sulit. Pindah sekolah!!! Padahal baru tiga bulan, Fikri belajar beradaptasi dengan lingkungan  barunya, sekarang dia sudah harus beradaptasi lagi.  Apakah Fikri bisa menjalaninya dengan mulus?  Apakah usianya yang baru tepat enam tahun tidak akan menghambat proses adaptasinya?  Apakah Fikri tidak akan merasa tertekan? Ahh!! Bermacam pertanyaan menyertai keputusan kami saat memasuki sekolah baru.
Di ruang kepala sekolah baru, aku merasa ragu.  Seorang Bapak yang masih muda, duduk di belakang meja.  Hatiku berbisik, tidak mungkin Bapak ini seorang kepala sekolah.
“Silahkan ibu.  Ada yang bisa saya Bantu?”  Suara bapak itu menyentakkan lamunan sekaligus menjawab keraguanku.  Memang ternyata beliaulah kepala sekolah.  Aku menarik nafas, seolah Allah memberikan sebuah kesadaran saat itu.  Selama ini aku memandang rendah kepada teman-teman guru.  Ini disebabkan pengalaman dulu, ketika aku melewati test penerimaan mahasiswa baru, 14 tahun yang lalu.  Teman – teman yang tidak diterima di universitas, akan melanjutkan ke sekolah kependidikan untuk menjadi guru.  Karena image negative itu, tanpa disadari aku telah menganggap enteng tugas mulia dari seorang guru.  Sekarang malah aku mendapatkan diriku mencari-cari dan membutuhkan peran seorang guru untuk dapat membantuku, mendampingi Fikri di sekolah.
Kami berdiskusi.  Beliau kelihatan begitu menguasai metodologi dan sistim pendidikan modern dan terintegrasi.   Sekolah ini memandang bahwa setiap anak itu unik dan semua anak memiliki bakat dan potensi yang menunggu untuk dikembangkan.  Cara belajarnyapun dengan memberlakukan anak sebagai subjek/pelaku dan ini cocok sekali untuk Fikri yang kinestetik (belajar dengan melakukan).  Selanjutnya Fikri bahkan diizinkan untuk sit in, kesempatan untuk mencoba apakah Fikri nyaman atau tidak belajar di sekolah itu.  Akhirnya, Fikripun memutuskan untuk didaftarkan di sana.
Hari selanjutnya yang kami lalui ternyata semakin berat dan sulit.  Di luar dugaanku, Fikri  menjadi sangat berbeda.  Percaya dirinya menurun drastis.  Setiap memasuki sekolah barunya, ia bersembunyi di belakangku.  “Umi, aku tidak mau ditinggal,” serunya setiap kali aku izin pulang setelah mengantarkannya.  Bajuku ditarik-tarik.  Aku dapat merasakan, betapa tidak nyamannya ia.
Kepala sekolah memberiku waktu paling lama satu bulan untuk menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah.  Aku lega, karena kepala sekolah dan guru-guru di sini sangat kooperatif dengan kebutuhan anak.  Jadilah aku yang harus berjuang melawan rasa bosan, duduk manis selama tujuh jam di sekolah Fikri. 
Hari pertama, kedua, hingga minggu pertama aku masih punya semangat.  Sembari menunggu Fikri, aku mempelajari sekolah ini dari dekat.  Bagaimana guru-gurunya, bagaimana proses belajarnya dan syukurlah aku tidak menyesal dengan pilihanku!
Namun, lewat seminggu, Fikri masih belum ada perubahan.  Aku harus menunggunya di ruang tunggu, meskipun di dalam kelas dia tidak pernah sedetikpun hirau dengan keberadaanku.  Ada apa gerangan dengan Fikri?  Aku mulai berpikir keras.  Apa yang harus aku lakukan?  Sementara tentu sekolah juga memiliki kebijakan yang juga harus aku hormati. 
“Nak, menurutmu, apa yang bisa kita lakukan agar Fikri bisa nyaman di sekolah tanpa ditemani Umi?”  aku memandang sulungku serius.  Mengharapkan dia bisa mengemukakan beberapa alternatif untuk mengatasi masalahnya.
“Fikri tidak tahu, Umi.  Tapi di kelas itu Fikri merasa takut?” Warna suaranya ragu.  “Ya Mi, Fikri takut!” Lanjutnya menegaskan. “Sebab, teman-teman Fikri semua anak pintar, mereka bisa berhitung dalam bahasa Inggris.” 
Aku menarik nafas dalam-dalam, apakah ini efek yang tidak sengaja ditimbulkan oleh sekolah sebelumnya? Entahlah!  Aku berhati-hati memilih kata yang akan aku ucapkan.  Aku khawatir, jangan sampai komentarku malah membuat Fikri semakin tidak percaya diri.
“Sayang, akan tiba saatnya kamu akan lancar berbahasa Inggris seperti teman-temanmu.  Kamu baru belajar! Yakinlah, kamu pasti bisa!” ujarku memberi semangat.  “Namun, yang lebih penting lagi, kesiapan mu untuk berada di sekolah tanpa Umi! Kesempatan Umi menemanimu hanya tinggal satu minggu lagi, Nak!”  Suaraku mulai meninggi. 
Terus terang, aku mulai merasa tidak nyaman, setiap pagi hingga siang menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah, tujuh jam sehari dan lima hari seminggu. Jenuh! Bosan!  Dan di hadapan Fikri, aku harus selalu kelihatan segar, tegar, dan siap memberikan dukungan hingga dia mampu menjalaninya sendiri. Uff!
Tepat sebulan.  Akhirnya setelah berkonsultasi dengan sekolah, kami membuat kesepakatan.  Pagi sekali ketika bersiap-siap ke sekolah, aku sudah menyampaikan kepada Fikri bahwa hari ini Fikri sudah mampu sendiri di sekolah barunya.  “Selamat nak, ini adalah hari pertamamu tanpa Umi!  Kamu pasti berhasil, Nak, kamu pasti bisa!  Karena kamu adalah kebanggaan Umi.” Ujarku menggebu.  “Dan sepulang sekolah nanti, kamu akan mendapatkan hadiah spesial dari Umi dan Abi!” Lanjutku bersemangat.  Dalam hati aku berdoa, semoga Allah memudahkan jalan bagi Fikri.
Pagi itu aku lihat Fikri berseri-seri.  Aku menduga, mungkin dia juga berdebar-debar menghadapi keberhasilannya.  Sampai di parkiran sekolah, Fikri masih terlihat optimis.  Aku terus membakar semangatnya!  Hingga tiba di gerbang sekolah!  Ternyata ini lebih sulit dari yang kami bayangkan.  Fikri seperti biasa bersembunyi di balik tubuhku. Dadaku berdebar.  Berhasilkah Fikri? Bismillah, berkali-kali kalimat itu ku ucap.  “Ayo nak.  Kamu bisa!”  Sekilas Fikri terlihat ragu.  Lalu dengan wajah memelas, Fikri memandangku.  “Umi, jangan tinggalkan Fikri,” ia memohon lirih.  “Fikri takut!” Kembali kalimat itu keluar dari mulutnya. 
Aku menarik nafas gusar. Persendianku lemas! “Kamu pasti bisa,Nak! Ingat, hadiah yang sudah menunggumu sepulang sekolah nanti.” Aku berusaha merayu.
“Biarlah Mi, Fikri tidak mau hadiah.  Fikri mau ditemani.  Fikri takut sendiri.  Umi tidak boleh pulang!” Suaranya mulai menangis.
“Nak, tapi kita sudah membuat kesepakatan bukan? Kamu harus mencoba! Kamu pasti bisa!”
“Tidak!” Suara Fikri mulai histeris.  “Kenapa Fikri harus dipaksa, Mi? Fikri tidak mau sekolah!” Fikri tersedu-sedu dipelukanku.
Aku menjadi bingung apa yang harus aku lakukan.  Padahal tadi pagi kami telah membuat kesepakatan.  Aku peluk Fikri, berusaha membantu menenangkan perasaannya.    
“Ayo lah Nak. Kamu pasti bisa!” Suaraku juga sudah setengah menangis.  Antara jengkel dan hiba melihat wajah Fikri yang risau.  Aku teringat pembicaraanku kemarin dengan kepala sekolah.  “Selama satu bulan kita sudah melakukan pendekatan persuasif dengan Fikri.  Bagaimana selanjutnya, jika Fikri masih belum bisa ditinggal, kita gunakan shock therapy?” Itu penawaran  kepala sekolah kemarin.  Dan aku menyetujui!  Sebab, aku tidak punya pilihan.  Aku juga tidak ingin memanjakan Fikri.  Aku ingin mendidik Fikri dengan tepat!  Lembut namun tegas.  Aku punya harapan, Fikri menemukan percaya dirinya kembali sebagai anak laki-laki.  Dan hari ini, adalah penentuannya!  Shock therapy? Tegakah aku melakukannya kepada Fikri?  Tepatkah cara itu untuk membuat Fikri mandiri?

Dari jauh aku lihat kepala sekolah memberi isyarat.  Hal ini tidak perlu dijelaskan lagi.  Aku harus meninggalkan Fikri bagaimanapun caranya!  Bismillah..
“Ya sudah. Sekarang Fikri silahkan ikut berbaris ya Nak.”  Aku memandang Fikri yang sudah tenang dalam pelukanku.
 “Tapi Umi jangan pergi. Umi janji?” Reflek kepalaku mengangguk.
“Yah Umi janji, tidak akan meninggalkanmu…,kecuali setelah kamu berada di kelas.” Aku berbisik melanjutkan kalimat terakhir itu, agar Fikri tidak mendengarnya.  Aku telah menyusun rencana.  Begitu Fikri telah masuk ke kelasnya, jika biasanya aku di ruang tunggu, hari ini aku akan pulang!  Aku sengaja membawa dZikra, adik Fikri, agar aku punya alasan kuat untuk meninggalkan Fikri.
Detik-detik yang mendebarkan itu semakin dekat.  Aku menahan nafas saat Fikri memasuki pintu kelasnya.  Sekilas dia menatap ke arahku sambil mengacungkan jempolnya, sebagai isyarat tanda terimakasihnya aku masih berada di ruang tunggu.  Beberapa saat, ketika aku anggap dia sudah larut dengan suasana kelasnya, diam-diam aku pamit kepada kepala sekolah.  Akhirnya aku pasrah, apapun yang akan terjadi nanti, mudah-mudahan itu adalah jalan terbaik bagi Fikri untuk menemukan kembali kemandirian dan percaya dirinya.
Di parkiran sekolah, aku menyalakan mesin mobil dengan sedikit gemetar.  Jantungku terasa berdebar lebih kencang dari biasa dan mataku berkali-kali siaga menoleh ke arah gerbang sekolah yang terletak tidak jauh dari temaptku parkir.  Bismillah, aku mengendarai mobil perlahan dan sangat terkejut, begitu tiba di gerbang sekolah aku melihat Fikri sudah menangis di ruang tunggu.  Wajahnya keliatan sangat tertekan, sedih, dan…sungguh, aku tidak dapat menceritakan secara tepat apa yang dia rasakan.  Ingin rasanya aku balik ke parkiran dan menenangkan Fikri.  Tapi, kesepakatan antara aku, kepala sekolah dan Fikri, harus aku tunaikan.  Mudah-mudahan ini langkah terbaik bersama menuju kemandirian Fikri. 
Aku berusaha berwajah tenang.  Tanpa turun dari kendaraan, aku turunkan jendela di samping kemudi dan perlahan aku menginjak rem.  Kemudian aku berteriak kepada Fikri.  “Nak, kita coba ya.  Kamu pasti berhasil! Kamu pasti menang!” Ujarku dari belakang kemudi.  
Di luar dugaanku, Fikri berlari menuju mobilku yang mulai bergerak.  Sejenak aku panik.  Apa yang harus aku lakukan.  Apakah berhenti atau terus maju?  Aku menoleh kepada Fikri yang semakin mendekat.  Suara tangisnya yang tertekan semakin jelas terdengar.  Batinku semakin berperang!  Apakah aku harus mengalah?
Yang terjadi akhirnya aku menekan pedal gas semakin dalam.  Perlahan aku meninggalkan gerbang sekolah dan semakin menjauhi Fikri.  Dari kaca spion dapat kulihat, Fikri menangis dan berteriak memanggil-manggilku, berlari mengejar mobil yang bergerak dengan kecapatan 20 km/jam. Ya Tuhan!! Air mataku mengalir deras.  “Ayo Fikri! Ini bagian dari perjuangan kita! Ini pasti berhasi! InsyaAllah!! Kamu merasakan ini tidak nyaman bukan?  Umi pun merasa demikian, Nak. Tapi, kita harus mencoba segala cara!  Demi kemandirianmu!! Air mataku semakin deras.  Bayangan Fikri di belakangku bertambah samar.  Dia semakin jauh tertinggal dari mobilku yang terus melaju.  Akhirnya, aku tak sanggup! Aku memutar kemudi kembali menuju sekolah.  Dzikra di sampingku ikut menangis dan protes terhadap apa yang baru saja aku lakukan terhadap kakaknya.
Di ruang tunggu, Fikri duduk sesenggukkan ditemani guru piket.  Fikri berlari memelukku begitu aku memasuki gerbang sekolah.  “Umi, jangan pergi!  Jangan tinggalkan, Fikri!” Ujarnya memelas.  Sesenggukannya semakin hebat ketika kupeluk dan dia kembali menangis.  Ya Allah, aku membelai kepalanya.  Bermacam perasaan bergejolak dalam hatiku.  Aku merasa terharu, sedih, kesal, marah! Ahh! Ini gagal! Ini harus sampai kapan?  Aku ingin berteriak sekuatnya melampiaskan sesuatu yang saat itu terasa sangat menyesakkan.
Akhirnya hari ini, belumlah menjadi hari keberhasilan Fikri.  Setengah hari, aku terpaksa kembali menemani Fikri di ruang tunggu.  Kepala sekolah dan wali kelas Fikri untungnya sangat memahami situasi ini dan terus memberi dukungan.  “Kita harus terus berusaha Umi, ini hanya menunggu waktu!  Waktunya akan segera tiba!  Saat Fikri sanggup jauh dari Umi!” Oh!! Aku seperti mendapat segelas air saat merasa dahaga di gurun pasir.  Aku mendapat dukungan yang sangat aku butuhkan.  Rasanya mau saja aku mengembalikan Fikri kembali ke Taman Kanak-kanak, karena memang umurnya belum cukup.  Tapi? Apakah itu tidak akan semakin memperburuk konsep dirinya jika ia berfikir kenapa ia harus kembali ke sekolah yang tingkatnya lebih rendah? Allah!!! Betapa rumitnya aku.

Tiga bulan sudah berlalu.  Akhirnya suatu hari Fikri memberi usul. “Umi, besok bagaimana kalau kita coba lagiUmi tinggalkan Fikri, tapi tidak usah bilang duluFikri coba deh hanya memikirkan pelajaran dan mencoba untuk tidak terganggu bila Umi tidak ada di sekolah. Usul Fikri polos. 
Aku memeluknya terharu.  Allah, ternyata dia pun sibuk memikirkan cara bagaimana seharusnya sehingga dia dapat mandiri di sekolah. Dan komentar itu terlontar pada saat yang sangat tepat!  Saat aku sudah kehilangan semangat, saat aku sudah merasa putus asa, merasa kesal, merasa capek!
Esoknya, kami melakukan apa yang diusulkan Fikri.  Setelah Fikri masuk kelas, aku menunggu beberapa waktu.  Setelah itu, aku meninggalkan ruang tunggu menuju parkiran.  Di parkiran aku kembali menunggu sejenak, siapa tahu kejadian kemarin terulang kembali.  Namun gerbang sekolah terlihat sepi dan tenang.  Aku menjalankan mobil perlahan.  Aku melewati gerbang dengan sedikit berdebar, dan…Alhamdulillah! Sejauh ini masih sesuai rencana. 
Akhirnya aku tiba di rumah.  Aku menunggu dengan resah.  Setiap perpindahan detik membuat jantungku berdebar.  Menunggu-nunggu apakah ada khabar dari sekolah.  Rasanya waktu bergerak terlalu lama.  Hingga tiba waktunya menjelang Fikri pulang! “Kriiing,” tiba-tiba telepon rumahku berdering.  Di seberang sana, suara yang sangat ku kenal.
Umi, ini Fikri.  Fikri tadi hampir nangis lo waktu jam istirahat tapi Fikri tahan.  Fikri bayangkan Umi berada dekat, ada di ruang tunggu.  Akhirnya, setelah jam istirahat, Fikri masuk kelas lagi, Fikri sudah tidak ingat lagi harus ada Umi.  Fikri berhasil Mi! Hebat kan Mi! Fikri telah menemukan cara…” bla bla bla….Aku sudah tidak jelas mendengar perkataan sulungku yang lugu.  Allah!! Akhirnya.  Mataku basah. Aku menangis menikmati keharuanku. Tidak tahu cara berterimakasih yang lebih baik, aku hanya mampu mengucapkan syukur kepada_Mu, Allahku!  Alhamdulillah!

Jika anak dibesarkan dengan dipahami, dia akan belajar peduli dan mengerti dengan perasaan orang lain.  Jika anak dibesarkan dengan paksaan, dia akan belajar untuk memaksa orang lain untuk tunduk pada kehendaknya .  Wallahua’lam….

Buat guru-guru SDIT BIM angkatan I.  Salut! Dan terimakasih banyak..
Baca Selanjutnya........ Memahami Adalah Caraku Mencintai

Mereka yang Memiliki Mata Hati

Posted by tata_martinis Label:

Cerita Ammar Hari Ini

Ammar, 5 tahun_ku, akhirnya pulang setelah sukses, kembali sekolah hari ini! Ya, setelah 6 bulan mogok sekolah, sebab Ammar salah paham, memahami dan memaknai pukulan perkenalan dari seorang temannya yang autis, sebagai isarat permusuhan bukan persahabatan.

Aghh...seketika Umi merasakan demikian lega melihat wajah Ammar siang ini terlihat sangat bahagia dan bangga. "Umi, sekarang Ammar sudah siap ke sekolah sendiri. Horeeeee!" 

Ammar menunjukkan tangannya dengan bangga. Di lengannya terukir gambar bintang, ada tiga jumlahnya. Ini sebuah apresiasi dari sekolah yang membangkitkan motivasi Ammar luar biasa.
Dan sebagai hadiah untuk Ammar, Umi pun mengajak Ammar bertualang. Petualangan bertema alat transportasi! Yipiiii....Petualangan dimulai dengan menggunakan ojeg lalu dilanjutkan dengan angkot, alat transportasi yang cukup asing untuk Ammar. Dan klimaks nya, Ammar naik commuter line! Wowww...Seruuu nya berkeliling Jakarta Depok dengan Ammar.

Semula Umi mengira, keretanya lega, karena sudah siang bukan jam pergi pulang kantor. Perjalanan pun bukan menuju Jakarta. Namun ternyata, commuternya cukup padat sehingga Ammar dan Umi harus berdiri. Seperti biasa, mata Umi akan waspada, menemukan sedikit celah untuk bisa duduk, terutama untuk Ammar. Semua wajah juga seperti biasa, tanpa dosa. Seolah – olah tidak sadar bahwa ada seorang balita yang berhak mendapatkan kursi prioritas, (*itu sih menurut Umi* hahaha).

Pemandangan yang menarik selanjutnya, adalah sepasang tuna netra di hadapan kami yang demikian menikmati perjalanannya. Romantis sekali, melihat sang istri bersandar begitu manja di pundak suaminya. Fisik mereka yang tidak sempurna, terlihat begitu sempurna memancarkan cinta mereka! Entah mengapa, melihat wajah keduanya, terasa hati Umi menjadi damai.

Tiba – tiba si laki-laki tuna netra itu berdiri! Ia terlihat berbicara sebentar kepada istrinya. Lalu di luar dugaanku, si laki – laki tuna netra menyilahkan Ammar untuk duduk di kursinya. Haaa? Jeritku dalam hati. Sungguh tak percaya! Banyak orang dengan fisik sempurna yang ada di gerbong itu, hampir tidak peduli dengan Ammar. Tapi laki - laki itu? Dengan apa dia bisa melihat Ammar? Bukankah dia tuna netra? Dan dalam kebingunganku itu, si laki – laki tuna netra itu benar – benar telah berdiri. Ammar kembali dipanggilnya untuk duduk di kursinya. Perempuannya yang tuna netra juga terlihat berusaha mengarahkan senyumannya dengan tepat ke arahku. Dan begitu saja aku menjadi tersenyum juga. Entahlah, semoga dia bisa melihat senyum ketakjubanku dengan mata hatinya.

Tapi, karena perjalanan dengan commuter line ini sesuatu yang baru bagi Ammar, Ammar lebih memilih untuk berdiri di depan pintu commuter agar bisa melihat pemandangan di sepanjang perjalanan. Dia kurang tertarik untuk duduk di kursi yang sesungguhnya menjadi incaran banyak orang itu. Masih terkagum – kagum, aku mengucapkan terimakasih kepada si laki – laki tuna netra dan berkali – kali meyakinkan dia, bahwa Ammar lebih memilih berdiri daripada menerima tawaran baiknya. Sebenarnya dalam hati, aku yang justru ingin duduk di kursi yang ditawarkan untuk Ammar itu. Namun jauh di lubuh hatiku terdalam, rupanya menolak keras! Mana mungkin aku yang memiliki fisik yang sempurna, bisa kalah dengan pasangan itu! Mana mungkin aku memutus kemesraan mereka demi menutupi kemanjaanku. Ah, akhirnya aku yakinkan si laki – laki tuna netra itu untuk kembali saja duduk di samping istrinya yang senantiasa tersenyum.

Sungguh ini perjalanan menggetarkan, saat Allah mempertemukanku dengan mereka, sepasang guru kehidupan. Sepasang tuna netra yang meski tidak memiliki mata, namun mereka memiliki mata hati. Sepasang tuna netra meski mereka tidak mampu melihat, namun mereka sangat peka merasakan....
Berkahilah mereka ya Allah ...
Berkahilah kami....
 

Jakarta, 25 November 2013

Baca Selanjutnya........ Mereka yang Memiliki Mata Hati