Malaikat Kecil yang Terluka
Pagi itu cerah namun tidak begitu dengan wajah mungilnya. Mata bening khas anak2, yang seharusnya menyimpan semangat, gairah dan ceria, justru menceritakan kegelisahan sangat dalam. Kehangatan pagipun tak kunjung menenangkan perasaan bagi seorang anak yg baru saja melepas statusnya sebagai murid TK itu. Kini dengan banyak penyesuaian yang tidak kunjung ia mengerti, malaikat kecil itu terus berjuang mendamaikan hari2 pertama di sekolahnya yg baru- SD
Mendengar sedu sedannya yg akhirnya menghadirkan jerit tangis, membuat hati saya bertambah miris. Seorang Ibu Guru kelihatan membujuknya dengan sangat serius, namun kalah serius dari kecamuk perasan yg membuncah di dalam dada kecilnya. Mata itu makin menyimpan banyak tanda tanya, melihat Ibunya yang terus berteriak dan tampak hanya berusaha memotivasi dari gerbang sekolah yg jaraknya bertambah jauh dari langkah kakinya yang mengayun terbata, terus dipaksakan menuju kelas di lantai 2.
Hati kecil saya mendadak protes. Saat itu ingin sekali rasanya saya memeluk tubuh mungilnya, menenangkannya, mendiskusikan perasaannya, menghiburnya dan memberikan pengertian atas berbagai kegelisahan dan pertanyaannya yg tak kunjung terjawab. Tuhan, sungguh saya menyaksikan malaikat kecil itu sangat terluka.
Saya pun reflek mendekati ibunya. Ibu itu bercerita prihatin. Bahwà kemarin sempat mata sang anak memar. Mengapa memar? Karena kaos kaki? Lo? Iya, kaos kaki yg ternyata dpakai oleh anak itu untuk menyeka air mata kesedihannya.Huk!*nangiiis*
Selapis bening di mata saya jatuh. Ingat saat 8 tahun lalu kejadian persis ini pun saya alami, mendampingi sulung saya melewati perjuangan kami yg tak terlukiskan beratnya. Sebuah kegelisahan yg sulit dikatakan, ketakutan yg tak beralasan dan kesedihan yang tak mudah diceritakan dari anak2 saat menghadapi sekolah baru, teman baru, guru baru dan berbagai situasi baru. Tapi hebatnya ini hanya dialami oleh beberapa anak yg memang punya hati teramat lembut dan sangat sensitif.
Tapi apakah memang begini cara terbaik kita saat mengatasi anak yg tengah bergulat dengan rasa asingnya? Merasa cukup dengan sekadar mengatakan:
"kamu sudah besar, jadi harus begini begitu."
"semua akan baik - baik saja."
dan beribu kalimat bujukan lainnya, tanpa sedikitpun merasa perlu menularkan kedamaian melalui dekapan dan pelukan, pandangan mata yg fokus memberi perhatian, suara yg lembut menyejukkan atau memberi sedikit jeda waktu untuk dia bisa memaknai kegelisahnnya dan mengerti dengan apa yg dia rasakan dan pertanyakan?
Ah entahlah. Bagi saya fenomena ini akhirnya bagai sebuah kesempatan untuk orang tua terus belajar dan mengajarkan. Belajar untuk lebih peduli dengan perasaan anak, daripada sibuk memaksakan diri sesuai dengan apa yang orang tua mau.
Bila anak merasa bahwa orang tua memang mementingkan perasaannya, maka anak juga belajar untuk mementingkan perasaan orang lain. Bila anak merasa orang tua peduli dengan apa yang tengah dirasakannya, maka anak pun akan belajar untuk peduli dengan perasaan orang lain. Bukankah ini yang dinamakan berlatih empati sejak kecil? Dengan didengarkan perasaannya maka anak akan merasa penting. Ini menjadi sebuah jalan untuk menemukan ketenangan dan semangat belajarnya kembali.
Pada saat itulah terjadi proses pembelajaran yg sesungguhnya dalam rangka mengasah rasa periksa dan menajamkan logika. Saat itu, dimana anak benar2dipentingkan dan diberikan kesempatan untuk didengarkan atas apa yang sesungguhnya dia rasakan!
Ya begitulah,
Kehidupan malaikat kecil di sekeliling kita!
Hari2 nya meliputi antara
Rumah dan sekolah
Sekolah dan rumah
Sehingga dengan demikian,
orang tua harus mampu berperan juga sebagai guru.
guru juga mesti mampu berperan menjadi orang tua.
Sebuah catatan kecil,
Untuk mimpi besar anak bangsa!
5 Agustus 2015
Pagi itu cerah namun tidak begitu dengan wajah mungilnya. Mata bening khas anak2, yang seharusnya menyimpan semangat, gairah dan ceria, justru menceritakan kegelisahan sangat dalam. Kehangatan pagipun tak kunjung menenangkan perasaan bagi seorang anak yg baru saja melepas statusnya sebagai murid TK itu. Kini dengan banyak penyesuaian yang tidak kunjung ia mengerti, malaikat kecil itu terus berjuang mendamaikan hari2 pertama di sekolahnya yg baru- SD
Mendengar sedu sedannya yg akhirnya menghadirkan jerit tangis, membuat hati saya bertambah miris. Seorang Ibu Guru kelihatan membujuknya dengan sangat serius, namun kalah serius dari kecamuk perasan yg membuncah di dalam dada kecilnya. Mata itu makin menyimpan banyak tanda tanya, melihat Ibunya yang terus berteriak dan tampak hanya berusaha memotivasi dari gerbang sekolah yg jaraknya bertambah jauh dari langkah kakinya yang mengayun terbata, terus dipaksakan menuju kelas di lantai 2.
Hati kecil saya mendadak protes. Saat itu ingin sekali rasanya saya memeluk tubuh mungilnya, menenangkannya, mendiskusikan perasaannya, menghiburnya dan memberikan pengertian atas berbagai kegelisahan dan pertanyaannya yg tak kunjung terjawab. Tuhan, sungguh saya menyaksikan malaikat kecil itu sangat terluka.
Saya pun reflek mendekati ibunya. Ibu itu bercerita prihatin. Bahwà kemarin sempat mata sang anak memar. Mengapa memar? Karena kaos kaki? Lo? Iya, kaos kaki yg ternyata dpakai oleh anak itu untuk menyeka air mata kesedihannya.Huk!*nangiiis*
Selapis bening di mata saya jatuh. Ingat saat 8 tahun lalu kejadian persis ini pun saya alami, mendampingi sulung saya melewati perjuangan kami yg tak terlukiskan beratnya. Sebuah kegelisahan yg sulit dikatakan, ketakutan yg tak beralasan dan kesedihan yang tak mudah diceritakan dari anak2 saat menghadapi sekolah baru, teman baru, guru baru dan berbagai situasi baru. Tapi hebatnya ini hanya dialami oleh beberapa anak yg memang punya hati teramat lembut dan sangat sensitif.
Tapi apakah memang begini cara terbaik kita saat mengatasi anak yg tengah bergulat dengan rasa asingnya? Merasa cukup dengan sekadar mengatakan:
"kamu sudah besar, jadi harus begini begitu."
"semua akan baik - baik saja."
dan beribu kalimat bujukan lainnya, tanpa sedikitpun merasa perlu menularkan kedamaian melalui dekapan dan pelukan, pandangan mata yg fokus memberi perhatian, suara yg lembut menyejukkan atau memberi sedikit jeda waktu untuk dia bisa memaknai kegelisahnnya dan mengerti dengan apa yg dia rasakan dan pertanyakan?
Ah entahlah. Bagi saya fenomena ini akhirnya bagai sebuah kesempatan untuk orang tua terus belajar dan mengajarkan. Belajar untuk lebih peduli dengan perasaan anak, daripada sibuk memaksakan diri sesuai dengan apa yang orang tua mau.
Bila anak merasa bahwa orang tua memang mementingkan perasaannya, maka anak juga belajar untuk mementingkan perasaan orang lain. Bila anak merasa orang tua peduli dengan apa yang tengah dirasakannya, maka anak pun akan belajar untuk peduli dengan perasaan orang lain. Bukankah ini yang dinamakan berlatih empati sejak kecil? Dengan didengarkan perasaannya maka anak akan merasa penting. Ini menjadi sebuah jalan untuk menemukan ketenangan dan semangat belajarnya kembali.
Pada saat itulah terjadi proses pembelajaran yg sesungguhnya dalam rangka mengasah rasa periksa dan menajamkan logika. Saat itu, dimana anak benar2dipentingkan dan diberikan kesempatan untuk didengarkan atas apa yang sesungguhnya dia rasakan!
Ya begitulah,
Kehidupan malaikat kecil di sekeliling kita!
Hari2 nya meliputi antara
Rumah dan sekolah
Sekolah dan rumah
Sehingga dengan demikian,
orang tua harus mampu berperan juga sebagai guru.
guru juga mesti mampu berperan menjadi orang tua.
Sebuah catatan kecil,
Untuk mimpi besar anak bangsa!
5 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar