Memahami Adalah Caraku Mencintai
Marnarita
Yarsi
Fikri, sulungku belum enam tahun
ketika aku daftarkan ia ke sebuah Sekolah Dasar. Keputusan itu membuatku di hari-hari
selanjutnya selalu berdebar, apakah keputusan ini adalah keputusan yang tepat!
Dalam sebuah forum ilmiah, aku
mendapatkan informasi dari seorang
dokter ahli neuroscience. “Ibu-ibu seharusnya mengkampanyekan agar
anak-anak Indonesia masuk Sekolah Dasar minimal pada usia tujuh tahun. Pada usia tujuh tahun itulah sebenarnya saraf
otak anak telah benar-benar siap
menerima beratnya beban kurikulum Sekolah Dasar”. Informasi ini setelah Fikri-ku terdaftar
sebagai murid SD! Ini betul-betul menghentak nuraniku sebagai ibu. Rabbi,
betapa teganya aku. Kesanggupan seorang
anak memasuki Sekolah Dasar ternyata di tujuh tahun! Bukan enam tahun! Apalagi kurang dari enam tahun!!
Hari pertama di sekolah dasar pertama.
Aku ikut mengantar Fikri dengan maksud menambahkan semangat! Masih pagi sekali ketika kami tiba. Namun di
pintu kelas telah ramai dengan orang tua murid. Aku bertanya-tanya, ada apa rupanya,
sekumpulan ibu itu memenuhi pintu kelas.
Aku dan Fikri mencari-cari tempat yang agak lega tak jauh dari sana, mengamati
sekeliling sebagai pengenalan awal lingkungan sekolah. Aku melirik Fikri, wajahnya nyaris tanpa
ekspresi, sangat datar!
Tak lama setelah kami duduk diam,
pintu kelas yang tadinya ramai dengan orang tua murid, tiba-tiba menimbulkan
bunyi gaduh. Reflek kami berdua menoleh
dan…..!!! Orang tua yang tadinya berada di depan pintu, berebut masuk
mencarikan tempat duduk untuk anak-anak mereka.
Aku dan Fikri saling berpandangan.
Wajah Fikri masih datar, nanar!! Aku menduga bahwa dia tidak suka dengan
situasinya.
Tapi akhirnya dia tersenyum. “Ayuk Mi, pintu kelasnya sudah
dibuka,” ucapnya sambil melangkah menuju ruang kelasnya yang bingar.
Hmh….Aku masih gelagapan, terpesona dengan ‘ambisi’ ibu-ibu itu, yang terlihat lebih ngotot dari pada anak-anaknya. Dalam hati, aku
bersyukur, Fikri tidak terganggu karenanyanya.
Hebat! Aku saja yang dewasa, merasa
cukup terganggu dengan suasana kurang nyaman
ini
Dari luar kelas aku mengamati Fikri
yang sibuk mencari tempat duduk yang nyaman untuknya. Aku menahan
diri untuk tidak ikut campur! Aku ingin Fikri mandiri, menentukan
sendiri apa yang terbaik menurut pilihannya.
Akhirnya Fikri memutuskan untuk memilih tempat duduk paling belakang.
Memang, dia kalah bersaing dengan ibu-ibu temannya yang berebut memilih kursi
yang paling depan dan strategis. Sekilas
dia menoleh ke arahku dan tersenyum samar. “Di sini, Mi,” isyaratnya memohon
restu. Aku mengacungkan jempol yang
sedikit bergetar. Kepalaku
mengangguk menandakan persetujuan. Aku mulai tidak yakin dengan kualitas sekolah
ini, dimana Fikri sudah aku daftarkan.
Selanjutnya,
dari cerita Fikri, keraguanku terhadap sekolah itu semakin kuat saat suatu kali aku berbincang dengan Fikri.
“Umi,
memangnya Fikri
pintar yah?” Komentar Fikri saat
suatu ketika aku memanggilnya dengan sapaan “Hai pintar Umi..” Aku memandang
Fikri prihatin.
Mengapa konsep diri Fikri menjadi rendah? Padahal selama ini, dia cukup
percaya diri meskipun karakternya adalah seorang anak yang pemalu.
Aku mulai menggali informasi dengan banyak mengajak Fikri berdiskusi. Hingga
suatu Senin aku datang
ke sekolahnya.
Amanat Kepala Sekolah di
upacara pagi itu,
membuatku ‘patah hati.’ “Jadi, anak-anak yang pintar di sekolah ini,
akan dipisahkan dari anak-anak yang bodoh..” Aghhh!!! Seluruh tubuhku terasa mendidih. Rasanya aku ingin marah! Mengapa paradigma ini masih saja ada. Anak-anak awal sekolah dasar yang sudah lancar
membaca, menulis dan berhitung disebut sebagai pintar dan dipisahkan dari
teman-teman mereka yang belum lancar.
Malangnya, anak-anak yang belum lancar – termasuk Fikri - disebut
sebagai bodoh! Begitu tega!!! Padahal,
semua anak adalah luar biasa dan memiliki keunggulan tertentu yang berbeda
antara satu dan lainnya.
Akhirnya hanya bertahan tiga bulan
Fikri bersekolah di sana. Setelah itu,
aku dan Fikri memutuskan untuk pindah ke sekolah yang menurut kami lebih sesuai. Sekolah yang mengembangkan proses
pembelajaran berdasarkan prinsip bahwa setiap anak adalah manusia yang unggul
dan berpotensi. Semua anak adalah pintar. Mereka
akan distimulasi dan mendapatkan cara pembelajaran berbeda
antara satu dan lainnya. Segala
sesuatunya dikondisikan agar kecerdasan anak dapat berkembang optimal. Bismillah, kami akhirnya mengambil suatu
keputusan yang sulit. Pindah sekolah!!! Padahal baru tiga bulan, Fikri belajar
beradaptasi dengan lingkungan barunya,
sekarang dia sudah harus beradaptasi lagi.
Apakah Fikri bisa menjalaninya dengan mulus? Apakah usianya yang baru tepat enam tahun
tidak akan menghambat proses adaptasinya? Apakah Fikri tidak akan merasa tertekan? Ahh!!
Bermacam pertanyaan menyertai keputusan kami saat memasuki sekolah baru.
Di ruang kepala sekolah baru, aku merasa ragu. Seorang Bapak
yang masih muda, duduk di belakang meja.
Hatiku berbisik,
tidak mungkin Bapak ini
seorang kepala sekolah.
“Silahkan ibu.
Ada yang bisa saya Bantu?” Suara
bapak itu menyentakkan lamunan sekaligus
menjawab keraguanku.
Memang ternyata beliaulah kepala sekolah. Aku menarik nafas, seolah Allah memberikan
sebuah kesadaran saat itu. Selama ini
aku memandang rendah kepada teman-teman guru.
Ini disebabkan pengalaman dulu, ketika aku melewati test penerimaan
mahasiswa baru, 14 tahun yang lalu.
Teman – teman yang tidak diterima di universitas, akan melanjutkan ke
sekolah kependidikan untuk menjadi guru.
Karena image negative itu,
tanpa disadari aku telah menganggap enteng tugas mulia dari seorang guru. Sekarang malah aku mendapatkan diriku
mencari-cari dan membutuhkan peran seorang guru untuk dapat membantuku,
mendampingi Fikri di sekolah.
Kami berdiskusi.
Beliau kelihatan begitu menguasai metodologi dan sistim pendidikan modern dan
terintegrasi. Sekolah ini memandang
bahwa setiap anak itu unik dan semua anak memiliki bakat dan potensi yang
menunggu untuk dikembangkan. Cara
belajarnyapun dengan memberlakukan anak sebagai subjek/pelaku dan ini cocok
sekali untuk Fikri yang kinestetik (belajar dengan melakukan). Selanjutnya Fikri bahkan diizinkan untuk sit in, kesempatan untuk mencoba apakah
Fikri nyaman atau tidak belajar di sekolah itu.
Akhirnya, Fikripun memutuskan untuk didaftarkan di sana.
Hari selanjutnya yang kami lalui
ternyata semakin berat dan sulit. Di
luar dugaanku, Fikri menjadi sangat
berbeda. Percaya dirinya menurun drastis. Setiap memasuki sekolah barunya, ia
bersembunyi di belakangku. “Umi, aku tidak mau
ditinggal,” serunya setiap kali aku izin pulang setelah mengantarkannya. Bajuku ditarik-tarik. Aku dapat merasakan, betapa tidak nyamannya ia.
Kepala sekolah memberiku waktu
paling lama satu bulan untuk menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah. Aku lega, karena kepala sekolah dan guru-guru
di sini sangat kooperatif dengan kebutuhan anak. Jadilah aku yang harus berjuang melawan rasa
bosan, duduk manis selama tujuh jam di sekolah Fikri.
Hari pertama, kedua, hingga minggu
pertama aku masih punya semangat.
Sembari menunggu Fikri, aku mempelajari sekolah ini dari dekat. Bagaimana guru-gurunya, bagaimana proses belajarnya
dan syukurlah aku tidak menyesal dengan pilihanku!
Namun, lewat seminggu, Fikri masih
belum ada perubahan. Aku harus
menunggunya di ruang tunggu, meskipun di dalam kelas dia tidak pernah
sedetikpun hirau dengan keberadaanku. Ada apa gerangan dengan Fikri? Aku mulai berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan? Sementara tentu sekolah juga memiliki kebijakan yang juga
harus aku hormati.
“Nak, menurutmu, apa yang bisa kita
lakukan agar Fikri bisa nyaman di sekolah tanpa ditemani Umi?” aku memandang sulungku serius. Mengharapkan dia bisa mengemukakan beberapa
alternatif untuk mengatasi masalahnya.
“Fikri tidak tahu, Umi. Tapi di kelas itu Fikri merasa takut?” Warna suaranya
ragu. “Ya Mi, Fikri takut!” Lanjutnya menegaskan.
“Sebab, teman-teman Fikri semua anak pintar, mereka bisa berhitung dalam bahasa
Inggris.”
Aku menarik nafas dalam-dalam,
apakah ini efek yang tidak sengaja ditimbulkan oleh sekolah sebelumnya?
Entahlah! Aku berhati-hati memilih kata
yang akan aku ucapkan. Aku khawatir,
jangan sampai komentarku malah membuat Fikri semakin tidak percaya diri.
“Sayang, akan tiba saatnya kamu
akan lancar berbahasa Inggris seperti teman-temanmu. Kamu baru belajar! Yakinlah, kamu pasti
bisa!” ujarku memberi semangat. “Namun,
yang lebih penting lagi, kesiapan mu untuk berada di sekolah tanpa Umi! Kesempatan Umi menemanimu hanya
tinggal satu minggu lagi, Nak!” Suaraku
mulai meninggi.
Terus terang, aku mulai merasa tidak nyaman, setiap pagi
hingga siang menunggu Fikri di ruang tunggu sekolah, tujuh jam sehari dan lima
hari seminggu. Jenuh! Bosan! Dan di
hadapan Fikri, aku harus selalu kelihatan segar, tegar, dan siap memberikan
dukungan hingga dia mampu menjalaninya sendiri. Uff!
Tepat sebulan. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan
sekolah, kami membuat kesepakatan. Pagi
sekali ketika bersiap-siap ke sekolah, aku sudah menyampaikan kepada Fikri
bahwa hari ini Fikri sudah mampu sendiri di sekolah barunya. “Selamat nak, ini adalah hari pertamamu tanpa
Umi! Kamu pasti berhasil, Nak, kamu pasti bisa! Karena kamu adalah kebanggaan Umi.” Ujarku menggebu. “Dan sepulang sekolah nanti, kamu akan
mendapatkan hadiah spesial
dari Umi dan Abi!” Lanjutku
bersemangat. Dalam hati aku berdoa,
semoga Allah memudahkan jalan bagi Fikri.
Pagi itu aku lihat Fikri
berseri-seri. Aku menduga, mungkin dia
juga berdebar-debar menghadapi keberhasilannya.
Sampai di parkiran sekolah, Fikri masih terlihat optimis. Aku terus membakar
semangatnya! Hingga tiba di gerbang sekolah! Ternyata ini lebih sulit dari yang kami bayangkan. Fikri seperti biasa bersembunyi di balik
tubuhku. Dadaku berdebar. Berhasilkah
Fikri? Bismillah, berkali-kali kalimat itu ku ucap. “Ayo nak.
Kamu bisa!” Sekilas Fikri
terlihat ragu. Lalu dengan wajah memelas,
Fikri memandangku. “Umi, jangan tinggalkan Fikri,” ia memohon
lirih. “Fikri takut!” Kembali kalimat
itu keluar dari mulutnya.
Aku menarik nafas gusar. Persendianku
lemas! “Kamu
pasti bisa,Nak! Ingat, hadiah yang sudah menunggumu sepulang sekolah nanti.”
Aku berusaha merayu.
“Biarlah Mi, Fikri tidak mau
hadiah. Fikri mau ditemani. Fikri takut sendiri. Umi
tidak boleh pulang!” Suaranya mulai menangis.
“Nak, tapi kita sudah membuat
kesepakatan bukan? Kamu harus mencoba! Kamu pasti bisa!”
“Tidak!” Suara Fikri mulai
histeris. “Kenapa Fikri harus dipaksa, Mi? Fikri tidak mau sekolah!”
Fikri tersedu-sedu dipelukanku.
Aku menjadi bingung apa yang harus
aku lakukan. Padahal tadi pagi kami
telah membuat kesepakatan. Aku peluk
Fikri, berusaha membantu menenangkan
perasaannya.
“Ayo lah Nak. Kamu pasti bisa!” Suaraku juga
sudah setengah menangis. Antara jengkel
dan hiba melihat wajah Fikri
yang risau. Aku teringat pembicaraanku
kemarin dengan kepala sekolah. “Selama
satu bulan kita sudah melakukan pendekatan persuasif dengan Fikri. Bagaimana selanjutnya, jika Fikri masih belum
bisa ditinggal, kita gunakan shock therapy?”
Itu penawaran kepala sekolah
kemarin. Dan aku menyetujui! Sebab, aku tidak punya pilihan. Aku juga tidak ingin memanjakan Fikri. Aku ingin mendidik Fikri dengan tepat! Lembut namun tegas. Aku punya harapan, Fikri menemukan percaya
dirinya kembali sebagai anak laki-laki.
Dan hari ini, adalah penentuannya!
Shock therapy? Tegakah aku
melakukannya kepada Fikri? Tepatkah cara
itu untuk membuat Fikri mandiri?
Dari jauh aku lihat kepala sekolah
memberi isyarat. Hal ini tidak perlu
dijelaskan lagi. Aku harus meninggalkan
Fikri bagaimanapun caranya! Bismillah..
“Ya sudah. Sekarang
Fikri silahkan
ikut berbaris ya Nak.”
Aku memandang Fikri yang sudah tenang dalam pelukanku.
“Tapi Umi jangan pergi. Umi
janji?” Reflek kepalaku mengangguk.
“Yah Umi janji, tidak akan
meninggalkanmu…,kecuali setelah kamu berada di kelas.” Aku berbisik melanjutkan
kalimat terakhir itu, agar Fikri tidak mendengarnya. Aku telah menyusun rencana. Begitu Fikri telah masuk ke kelasnya, jika
biasanya aku di ruang tunggu, hari ini aku akan pulang! Aku sengaja membawa dZikra, adik Fikri, agar aku punya alasan
kuat untuk meninggalkan Fikri.
Detik-detik yang mendebarkan itu
semakin dekat. Aku menahan nafas saat
Fikri memasuki pintu kelasnya. Sekilas
dia menatap ke arahku sambil mengacungkan jempolnya, sebagai isyarat tanda
terimakasihnya aku masih berada di ruang tunggu. Beberapa saat, ketika aku anggap dia sudah
larut dengan suasana kelasnya, diam-diam aku pamit kepada kepala sekolah. Akhirnya aku pasrah, apapun yang
akan terjadi nanti, mudah-mudahan itu adalah jalan terbaik bagi Fikri untuk
menemukan kembali
kemandirian dan percaya dirinya.
Di parkiran sekolah, aku menyalakan
mesin mobil dengan sedikit gemetar.
Jantungku terasa berdebar lebih kencang dari biasa dan mataku berkali-kali
siaga menoleh ke arah gerbang sekolah
yang terletak tidak jauh dari temaptku parkir. Bismillah, aku mengendarai mobil perlahan dan sangat terkejut,
begitu tiba di gerbang sekolah aku melihat
Fikri sudah menangis di ruang tunggu.
Wajahnya keliatan sangat tertekan, sedih, dan…sungguh, aku tidak dapat
menceritakan secara tepat apa yang dia rasakan.
Ingin rasanya aku balik ke parkiran dan menenangkan Fikri. Tapi, kesepakatan antara aku, kepala sekolah
dan Fikri, harus aku tunaikan.
Mudah-mudahan ini langkah terbaik bersama menuju kemandirian Fikri.
Aku berusaha berwajah tenang. Tanpa
turun dari kendaraan, aku turunkan jendela di
samping kemudi dan perlahan aku menginjak rem.
Kemudian aku berteriak kepada Fikri.
“Nak, kita coba ya. Kamu pasti
berhasil! Kamu pasti menang!” Ujarku dari belakang kemudi.
Di
luar dugaanku, Fikri berlari menuju mobilku yang mulai bergerak. Sejenak aku panik. Apa yang harus aku lakukan. Apakah berhenti atau terus maju? Aku menoleh kepada Fikri yang semakin
mendekat. Suara tangisnya yang tertekan
semakin jelas terdengar. Batinku semakin
berperang! Apakah aku harus mengalah?
Yang terjadi akhirnya aku menekan
pedal gas semakin dalam. Perlahan aku meninggalkan gerbang
sekolah dan semakin menjauhi Fikri. Dari kaca spion dapat kulihat, Fikri menangis
dan berteriak memanggil-manggilku,
berlari mengejar mobil yang bergerak dengan kecapatan 20 km/jam. Ya Tuhan!! Air
mataku mengalir deras. “Ayo Fikri! Ini
bagian dari perjuangan kita! Ini pasti berhasi! InsyaAllah!! Kamu merasakan ini
tidak nyaman bukan? Umi pun merasa demikian,
Nak. Tapi, kita harus mencoba segala cara!
Demi kemandirianmu!! Air mataku semakin deras. Bayangan Fikri di belakangku bertambah
samar. Dia semakin jauh tertinggal dari
mobilku yang terus melaju. Akhirnya, aku
tak sanggup! Aku memutar kemudi kembali menuju sekolah. Dzikra di sampingku ikut menangis dan protes
terhadap apa yang baru saja aku lakukan terhadap kakaknya.
Di ruang tunggu, Fikri duduk
sesenggukkan ditemani guru piket. Fikri
berlari memelukku begitu aku memasuki gerbang sekolah. “Umi,
jangan pergi! Jangan tinggalkan, Fikri!”
Ujarnya memelas. Sesenggukannya semakin
hebat ketika kupeluk dan dia kembali menangis.
Ya Allah, aku membelai kepalanya.
Bermacam perasaan bergejolak dalam hatiku. Aku merasa terharu, sedih, kesal, marah! Ahh!
Ini gagal! Ini harus sampai kapan? Aku
ingin berteriak sekuatnya melampiaskan sesuatu yang saat itu terasa sangat
menyesakkan.
Akhirnya hari ini, belumlah menjadi
hari keberhasilan Fikri. Setengah hari,
aku terpaksa kembali menemani Fikri di ruang tunggu. Kepala sekolah dan wali kelas Fikri untungnya
sangat memahami situasi ini dan terus memberi dukungan. “Kita harus terus berusaha Umi, ini hanya menunggu
waktu! Waktunya akan segera tiba! Saat Fikri sanggup jauh dari Umi!” Oh!! Aku seperti
mendapat segelas air saat merasa
dahaga di gurun pasir. Aku mendapat
dukungan yang sangat aku butuhkan.
Rasanya mau saja aku mengembalikan Fikri kembali ke Taman Kanak-kanak,
karena memang umurnya belum cukup. Tapi?
Apakah itu tidak akan semakin memperburuk konsep dirinya jika ia berfikir
kenapa ia harus kembali ke sekolah yang tingkatnya lebih rendah? Allah!!!
Betapa rumitnya aku.
Tiga bulan sudah berlalu. Akhirnya suatu hari Fikri memberi usul. “Umi, besok bagaimana kalau
kita coba lagi. Umi
tinggalkan Fikri,
tapi tidak usah bilang dulu. Fikri
coba deh hanya memikirkan pelajaran dan mencoba untuk tidak terganggu bila Umi
tidak ada di sekolah.”
Usul Fikri polos.
Aku memeluknya terharu. Allah, ternyata dia pun sibuk memikirkan cara
bagaimana seharusnya sehingga dia dapat mandiri di sekolah. Dan komentar itu
terlontar pada saat yang sangat tepat!
Saat aku sudah kehilangan semangat, saat aku sudah merasa putus asa,
merasa kesal, merasa capek!
Esoknya, kami melakukan apa yang
diusulkan Fikri. Setelah Fikri masuk
kelas, aku menunggu beberapa waktu.
Setelah itu, aku meninggalkan ruang tunggu menuju parkiran. Di parkiran aku kembali menunggu sejenak,
siapa tahu kejadian kemarin terulang kembali.
Namun gerbang sekolah terlihat sepi dan tenang. Aku menjalankan mobil perlahan. Aku melewati gerbang dengan sedikit berdebar,
dan…Alhamdulillah! Sejauh ini masih sesuai rencana.
Akhirnya aku tiba di rumah. Aku
menunggu dengan resah. Setiap
perpindahan detik membuat jantungku berdebar.
Menunggu-nunggu apakah ada khabar dari sekolah. Rasanya waktu bergerak terlalu lama. Hingga tiba waktunya menjelang Fikri pulang!
“Kriiing,” tiba-tiba telepon rumahku berdering.
Di seberang sana, suara yang sangat ku kenal.
“Umi, ini Fikri. Fikri tadi hampir nangis lo waktu jam
istirahat tapi Fikri
tahan. Fikri bayangkan Umi berada dekat, ada di
ruang tunggu. Akhirnya, setelah jam
istirahat, Fikri masuk kelas lagi, Fikri sudah tidak ingat lagi harus ada Umi. Fikri berhasil Mi! Hebat kan Mi! Fikri telah menemukan
cara…” bla bla bla….Aku sudah tidak jelas mendengar perkataan sulungku yang
lugu. Allah!! Akhirnya. Mataku basah.
Aku menangis menikmati keharuanku. Tidak tahu cara berterimakasih yang lebih baik, aku hanya
mampu mengucapkan syukur kepada_Mu, Allahku! Alhamdulillah!
Jika anak
dibesarkan dengan dipahami, dia akan belajar peduli dan mengerti dengan
perasaan orang lain. Jika anak
dibesarkan dengan paksaan, dia akan belajar untuk memaksa orang lain untuk
tunduk pada kehendaknya . Wallahua’lam….
Buat guru-guru
SDIT BIM angkatan I. Salut! Dan terimakasih banyak..